Sabtu, 13 Desember 2008

Urgensi dan Prospek Kebijakan Sistem Digitalisasi Radio-Televisi

Paulus Widiyanto

Co-Chairman Masyarakat Infomasi Indonesia, disampaikan dalam workshop KPID Jawa Tengah

Era digitalisasi penyiaran di Indonesia sudah pasti akan datang, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap kita menghadapinya, karena begitulah kecenderungan global tentang dunia penyiaran. Inovasi teknologi penyiaran adalah suatu hal yang tidak terelakkan di masa depan.

Kita diperhadapkan dengan kata-kata kunci baru tatkala mempelajari digitalisasi penyiaran, seperti terminology teknologi kompressi MPEG (Moving Picture Experts Group) 2 dan 4, multiplex, simulcast, dan masih banyak yang lain. Namun digitalisasi penyiaran tidak hanya persoalan teknologi semata, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, hukum, dan juga politik, sehingga persoalan digitalisasi penyiaran di Indonesia perlu dilihat secara komprehensif. Di sana ada persoalan state interests, corporation interests, consumers interests, juga public interests yang saling berinteraksi.

Pemerintah Indonesia telah menentukan migrasi sistem penyiaran terrestrial dari analog ke digital, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Infomatika RI Nomor 07/P/M.Kominfo/3/2007 tertanggal 21 Maret 2007 Tentang Standar Penyiaran Digital Terrestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, ditetapkan standar penyiaran digital terrestrial untuk televisi tidak bergerak di Indonesia yaitu Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T). Tatkala pemerintah memutuskan standar penyiaran digital DVB-T berlaku di Indonesia, ini berarti kita sudah masuk dalam sebuah mazhab sistem penyiaran digital Eropa, dan tidak ikut mazhab Amerika Serikat ATSC (Advanced Television Systems Committee). Keputusan ini mempunyai implikasi ekonomi-politik dan bisnis penyiaran Indonesia masuk ke dalam pasar global penyiaran, baik dari segi piranti atau peralatan teknologi penyiaran maupun program isi siaran.

Sistem penyiaran TV digital DVB dikembangkan berdasarkan latar belakang pentingnya sistem penyiaran yang bersifat terbuka (open system) yang ditunjang oleh kemampuan interoperability, fleksibilitas dan aspek komersial. Sebagai suatu open system, maka standar DVB dapat dimanfaatkan oleh para vendor untuk mengembangkan berbagai layanan inovatif dan jasa nilai tambah yang saling kompatibel dengan perangkat DVB dari vendor lain.
Selain itu, standar DVB memungkinkan terjadinya cross-medium interoperability yang memungkinkan berbagai media delivery yang berbeda dapat saling berinteroperasi. Salah satu aspek dari interoperability adalah bahwa semua perangkat yang DVB-compliant dari vendor yang berbeda dapat dengan mudah saling terhubung dalam satu mata rantai penyiaran. (Lihat Harry Budianto dkk “Sistem TV Digital dan Prospeknya di Indonesia’ Multikom Indo Persada, 2007).

Namun bagaimana kesiapan para pemangku kepentingan penyiaran di Indonesia menghadapi era digitalisasi penyiaran, padahal banyak sekali pekerjaan rumah regulator penyiaran yang belum selesai, manakah yang harus jadi prioritas? Sebutlah Sistem Siaran Jaringan (SSB) yang seharusnya mulai berlaku 28 Desember 2007, ditunda sampai 2009. Sekarang sudah sampai dimana pelaksanaan SSB bagi penyiaran di Indonesia. Bagaimana pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi? Bagaimana wilayah layanan penyiaran radio dan televisi? Bagaimana sebenarnya Roadmap dunia Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia? Migrasi dari sistem analog ke sistem digital akan ditempatkan dalam roadmap yang seperti apa? Bagaimana kepentingan public ditempatkan pada posisi roadmap tersebut, di tengah-tengah state interest, corporation interest dan consumer interest? Bagaimana kesiapan pembiayaan migrasi ke digital? Siapa yang harus membayar? Social and political cost-nya bagaimana? Siapa korban dan siapa peraih keuntungan dalam migrasi analog ke digital?

Tampaknya perdebatan public di Indonesia tentang proses migrasi ke sistem digital dunia penyiaran belum begitu intens, dan masih terbatas pada elite-elite dunia penyiaran, terutama regulator, operator dan vendor yang akan berbisnis hardware equipment dan program siaran dunia. Barangkali banyak pihak dan elemen-elemen masyarakat tidak tahu, merasa tidak perlu, tidak tertarik, dan menilai mahluk seperti apakah sebenarnya digitalisasi penyiaran di Indonesia, di tengah kenikmatan instan menonton dan mendengar program-program siaran radio dan televisi di tanah air saat ini. Diskusinya masih berkutat pada perebutan kanal yang tersisa, dan isi siaran yang penuh dengan mistik, infotainment, sinetron, kekerasan, kebanci-bancian, belum pada “revolusi digital televisi” yang akan mengubah lanskap penyiaran Indonesia di masa depan.

Karena masih langkanya perdebatan public tentang sistem digital penyiaran Indonesia, saya menyambut gembira langkah antisipatif Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah dalam menggagas seminar ini. Makalah ini adalah catataan kritis terhadap langkah-langkah migrasi dari analog ke digital di Indonesia yang masih gelap. Tentu saja kita merasa gembira karena seminar ini merupakan forum dimana kita memang sedang belajar bersama tentang digitalisasi penyiaran.

Lanskap Penyiaran yang baru.

Perkembangan teknologi penyiaran harus dipandang sebagai peluang untuk memperluas dan mengembangkan jangkauan jenis-jenis layanan penyiaran yang dapat disediakan bagi para pendengar dan penonton. Semula kita mendengar siaran radio yang dipancarkan lewat gelombang SW, MW, AM dan kini FM. Para radio broadcasters migrasi dari AM ke FM. Pada awalnya televisi disiarkan melalui VHF kemudian menjadi UHF. Orang nonton televisi hitam putih kemudian berkembang nonton televisi berwarna. Karena di Indonesia kanal-kanal frekuensi UHF sudah habis, maka frekuensi VHF yang ditinggalkan pemain lama, juga dilirik dan diincar pemain baru.

Di dunia pertelevisian, misalnya, setelah ditemukan sistem penyiaran terrestrial yang menggunakan gelombang elektromagnetik/spectrum frekuensi radio, kemudian dikembangkan televisi dengan platform kabel, yang dilanjutkan dengan platform satelit, bahkan kemudian dengan platform internet. Tatkala televisi bisa dipancarkan lewat internet, seperti halnya siaran radio di internet, maka kita sebenarnya sudah masuk pada isu konvergensi. Kasus ini pun menjadi perdebatan menarik di kalangan dunia penyiaran. Digitalisasi pertelevisian - kabel, satelit dan terrestrial - merupakan inovasi teknologi penyiaran yang menciptakan jalan yang menjanjikan suatu peningkatan dalam hal jangkauan dan keberagaman penyiaran di masa depan.

Perubahan cepat teknologi penyiaran, terutama peralihan dari cara-cara pemrosesan dan transmisi secara analog ke digital, telah mentrasformasi landskap penyiaran di berbagai negara. Lanskap penyiaran Indonesia di masa depan perlu dimasukkan ke dalam roadmap penyiaran yang menjadi tugas regulator, bagaimana misalnya aspek ekonomi karena tuntutan revolusi teknologi penyiaran.

Perubahan teknologi penyiaran harus kita bayar mahal. Migrasi dari analog ke digital membutuhkan biaya besar, baik bagi para operator untuk memperoleh dan membangun infrastruktur penyiaran yang baru (peralatan transmisi, studio, cara pembuatan program baru), dan konsumen (membeli pesawat televisi baru dan set-top boks).

Dilihat dari sisi corporation interests, tentu saja perubahan ke digitalisasi penyiaran akan menjadi bisnis besar karena permintaan hardware penyiaran yang begitu tinggi. Dilihat dari sisi consumers interests, bagi mereka yang berpenghasilan besar tentu saja mereka mampu membeli perubahan teknologi ini karena mereka akan memperoleh kenikmatan dan kenyamanan baru. Namun bagi konsumen kecil, perubahan teknologi penyiaran harus mereka bayar mahal, terutama dikaitkan dengan penggantian pesawat televisi dan pembelian set-top boks. Meski pesawat televisi lama masih mampu menangkap sistem digital, namun berangsur-angsur mereka akan terpaksa membeli pesawat penerima televisi yang baru bila akan memperoleh kualitas siaran yang prima.

Apabila persoalan social costs ini tidak dibahas secara terbuka, maka akan ada biaya politik yang harus dibayar mahal kelak di kemudian hari, mengingat public interests akan mewarnai perdebatan di kalangan politisi terutama akan masuk wilayah regulasi. Selama ini regulasi digitalisasi penyiaran di Indonesia hanya diatur lewat Peraturan Pemerintah, belum oleh Undang-Undang, sehingga kekuatan legalitasnya masih terbatas. Seolah-olah urusan digitaliasi penyiaran hanya milik Departemen Kominfo, bukan milik negara (state interests) dimana parlemen dan pemerintah harus sepakat tentang kebijakan public di bidang penyiaran.

Departemen Kominfo sudah merencanakan pada tahun 2018 siaran tv analog sudah switch off.
Di beberapa negara maju, AS misalnya, migrasi ke digital dibiayai negara. Di negara yang masih miskin seperti Indonesia, siapa yang harus membiayai migrasi ke digital? Beberapa operator televisi menyebutkan, biaya migrasi harus dibayar masyarakat, sedangkan pendapat pemerintah tentang migrasi ini, selalu menyebutkan pemerintah tidak punya dana untuk membiayai migrasi ke digital, bahkan uji coba sistem digital beberapa waktu yang lalu dibiayai oleh vendor.

Siapa yang memikirkan dan bagaimana skenario aspek ekonomi dunia penyiaran Indonesia era digitalisasi? Ternyata tidak jelas siapa konseptornya. Permen Menteri Kominfo 21 Maret 2007 juga menetapkan bahwa rencana induk frekuensi penyiaran digital terrestrial, standarisasi perangkat penyiaran digital terrestrial, jadwal proses pelaksanaan peralihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital termasuk masa transisi penyelenggaraan penyiaran analaoag dan digital secara bersamaan (simulcast periode) akan ditetapkan dengan Permen tersendiri. Kepada semua lembaga penyiaran jasa televisi terrestrial di Indonesia serta industri dan perdagangan terkait dapat mulai mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan peralihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital.

Kita perlu belajar dari keberhasilan dan kegagalan beberapa negara dalam melakukan migrasi dari sistem analog ke sistem digital. The best practices bisa menjadi rujukan, juga the worst practices bisa dipakai sebagai perbandingan dalam upaya menerapkan sistem baru ini, agar kita tidak masuk dalam “lubang” perangkap bisnis penyiaran global. Barangkali lembaga penyiaran swasta bermodal kuat siap untuk bermigrasi, bahkan lembaga penyiaran berlangganan di Indonesia telah ber-migrasi ke digital, namun bagaimana kemampuan lembaga penyiaran swasta lokal, lembaga penyiaran public dan lembaga penyiaran komunitas untuk bermigrasi mengingat broadcasting equipment mereka yang out of date and out of standard?

Apakah plus minus digitalisasi penyiaran dilihat dari aspek ekonomi? Beberapa pakar penyiaran (Jurgen Von Hagen dan Paul Seabright dalam “The Economic Regulation of Broadcasting Markets”, 2007) menyebutkan beberapa perubahan fitur-fitur utama lanskap penyiaran yang baru:
Sinyal-sinyal penyiaran dapat dienkripsi, sehingga memungkinkan operator penyiaran menghalangi orang-orang yang tidak membayar langganan set-top box kendati secara relative harganya murah. Penyiaran radio tetap gratis tanpa bayar karena para pendengar relative enggan membayar sebagai pelanggan. Operator penyiaran televisi cenderung berniat untuk menghentikan siaran sebagai barang-barang public sehingga akan memaksa konsumen membelinya dengan harga tertentu. Namun masih banyak regulator yang tetap memilih untuk memasok siaran sebagai barang-barang public.

Digitalisasi sinyal telah memungkinkan kompresi konten siaran ke dalam spectrum frekuensi yang tersedia. Kelangkaan spectrum tidak lagi merupakan hambatan bagi operator baru masuk pasar penyiaran.
Digitalisasi juga memungkinkan karakteristik-karakteristik konten siaran yang menjadi perhatian penonton televisi - seperti kualitas gambar dan suara, ketepatan waktu, kaya tampilan multimedia - tergantung pada platform (satelit, kabel, terrestrial, computer) yang mentransmisikan konten siaran. Konten siaran yang ditransmisikan lewat platform satelit akan bersaing dengan operator penyiaran platform kabel. Konten siaran yang sama dapat ditransmisikan ke pesawat penerima televisi, ke computer, dan berangsur-angsur ke telepon genggam. Situs internet mampu menyediakan konten multi-media yang berangsur-angsur akan serupa dengan konten siaran yang disediakan oleh penyiaran tradisional (radio dan televisi), dan bahkan banyak operator menggunakan situswebnya sebagai portal mereka untuk menarik penonton dan memberikan mereka tambahan sumber-sumber informasi lain.

Pemrosesan dan transformasi konten oleh konsumen atau pengguna akhir menjadi lebih canggih lagi karena computer dan macam-macam piranti pemrosesan digital (DVD recorders) menjadi tersedia lebih luas bagi rumahtangga. Hal ini berarti meng-copy menjadi lebih mudah, sehingga membangkitkan isu tentang pembajakan.

Mengecilnya biaya komputerisasi dan bentuk-bentuk lain pengolahan informasi dan biaya-biaya operasional teknik pembuatan program karena tersedia peralatan murah untuk mengambil dan memanipulasi suara dan gambar. Namun hal ini tidak serta merta menurunkan biaya total pembuatan program, karena masih banyak pos anggaran biaya lain yang akan meningkat, apabila akan menghasilkan kualitas program yang prima.

Merumuskan ulang penyiaran?

Banyak para ahli di bidang kebijakan public berpendapat, bahwa selama ini regulasi penyiaran masih tetap bertumpu pada rasionalitas dan asumsi yang ketinggalan zaman, bahwa spectrum frekuensi radio dan kanal-kanalnya adalah sumberdaya yang terbatas. Namun dengan teknologi komunikasi yang baru, maka inovasi ini telah meruntuhkan asumsi lama.

Persoalannya, menurut para ahli public policies, adalah pengelolaan frekuensi (spectrum management). Selama ini pengelolaan spectrum frekuensi dilakukan secara tidak efisien dan tidak efektif, termasuk di Indonesia (ada negara yang mengelola dengan bandwidth 6,7 dan 8 Mhz) yang terlalu boros dan royal. Memang setiap administrator punya alasan-alasan tertentu dalam pengelolaan spectrum frekuensi dikaitkan dengan kondisi kekhasan negaranya.
Di masa lalu, sekarang, dan masa depan sebenarnya totalitas ketersediaan frekuensi di alam bebas secara universal tetap atau tak bertambah. Namun akal budi dan pengetahuan manusia telah mampu menemukan teknologi pembagian frekuensi secara lebih efisien dan efektif. (Ibaratnya besaran kuenya tetap, namun cara membaginya dengan ketebalan yang lebih adil, maka hasilnya makin lebih banyak).

Dalam kaitannya dengan digitalisasi penyiaran di Indonesia, maka kesimpulannya penting adalah cara membagi secara adil (efisien dan efektif) ketersediaan frekuensi di daerah-daerah layanan. The transparent and fair allocation and distribution; spectrum management and the manager; more efficient and effective use of available spectrum.
Dikaitkan dengan konvergensi, atau meleburnya batas-batas antara telekomunikasi, penyiaran dan internet, regulasi penyiaran dan telekomunikasi juga diperhadapkan dengan situasi baru. Tradisi regulasi di Eropa, juga di Indonesia, ada pemisahan antara pengaturan penyiaran dan telekomunikasi. Namun dikaitkan dengan adanya jasa-jasa audiovisual yang lain (website dan video-on-demand) maka perdebatannya juga melebar, apakah jasa seperti ini masuk dalam yurisdiksi regulasi penyiaran.

Meskipun jasa-jasa audiovisual seperti ini belum berkembang di Indonesia, namun kita perlu menetapkan kriteria dasar untuk merumuskan jasa-jasa apa yang masuk penyiaran dan jasa-jasa apa yang bukan penyiaran.
Penyiaran senantiasa dirumuskan lebih dekat pada penekanan konsep komunikasi massa. Titik sentralnya adalah kemampuan teknologi (technological capacaity) yang secara serentak dan simultan menjangkau khalayak massa dan mentransmisikan program audiovisual yang telah ditetapkan sebelumnya. Kualitas program penyiaran mempunyai potensi untuk mempengaruhi perilaku dan opini public, sehingga dengan demikian penyiaran adalah jasa yang perlu lebih diatur oleh regulasi yang kuat, demi memelihara pluralisme dan melindungi konsumen dari kemungkinan manipulasi komersialitas yang tidak semestinya. Karena itu setiap lembaga pennyelenggara jasa penyiaran memerlukan izin dari regulator dan mematuhi aturan-aturan yang berkaitan dengan isi program siaran dan iklan komersialnya.

Sebaliknya jasa-jasa audiovisual lainnya, pada intinya sesungguhnya adalah komunikasi individual. Konsumen atau pengguna secara personal punya inisiatif melakukan kontak dengan situsweb tertentu, bermain produk game tertentu, atau membeli produk online. Hal ini lebih bermakna bahwa perorangan melakukan aktivitas komersial semata, tidak punya potensi kuat mengganggu ranah public, sehingga disimpulkan bahwa jasa-jasa seperti ini tidak memerlukan izin atau berhadapan dengan batasan-batasan khusus.

Namun perdebatan ini belum selesai dibicarakan oleh para penentu kebijakan dan pembuat regulasi, karena ukuran besaran massa (50, 500 atau 5 juta pemirsa) bisa disepakati sebagai parameter wilayah penyiaran atau internet. Karena di Jerman, misalnya, apabila klub Bayern Munchen bekerja sama dengan Youtube, menyiarkan pertandingan sepakbola, ini masuk regulasi apa? Atau apabila klub sepakbola Pelita Jaya bekerja sama dengan KompasTV di Internet untuk menyiarkan pertandingan sepakbola secara online, adakah regulasi yang mengaturnya? Apakah UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, atau UU No 32/2002 tentang Penyiaran, atau UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

Jakarta, 22 Oktober 2008.

Tidak ada komentar: