Minggu, 21 Desember 2008

Lahirnya Era Konvergensi IT, Telekomunikasi dan Penyiaran

Bernardus Satriyo Dharmanto

Gegap gempitanya perkembangan industri Telekomunikasi di Indonesia, diyakini akibat terjadinya revolusi teknologi yang begitu cepat. Ditandai dengan inovasi teknologi yang sangat fantastis, menguak tabir akurasi ramalan dan impian para ilmuwan berabad lalu. Revolusi ini dipercepat dengan datangnya para pemain global yang menjanjikan evoria perubahan aplikasi teknologi, implementasi dan model bisnis yang dapat memberikan alternatif bisnis bervariasi, kolaboratif dan tentu akan lebih menguntungkan pelakunya. Belumlah tuntas implementasi 3G, sudah ramai dibicarakan WiMAX misalnya. Bila diamati, semua ini bermuara kepada konsep bagaimana mengolah dan mengirim data secara cepat, akurat dan optimal. Bila kemampuan pipa pengiriman data sudah berlimpah, akhirnya konten multimedia lah yang menjadi primadona bisnis Telekomuikasi ini.

Revolusi ini dibarengi dengan datangnya era dimana pengiriman konten multimedia menjadi semakin cepat, mudah dan murah, yang telah membuka mata bagi para pelaku industri telekomunikasi, untuk berkompetisi meningkatkan kapasitas, aktifitas dan kualitas jaringannya agar dapat dilirik dan dijadikan mitra oleh penyelenggara konten (content provider), dalam memenuhi kebutuhan pengiriman konten multimedia dari dan kemanapun berada.

Era ini ditandai dengan lahirnya teknologi IPTV (Internet Protocol Television) yang memungkinkan siaran TV dan konten multi dimensi lainnya dikirim melalui beragam platform telekomunikasi yang berbeda (multi telecommunication platforms), untuk memperoleh layanan yang semakin interactive dan personal. Perkembangan drastis dunia telekomunikasi ini telah membuat, Interactivity dan Personality semakin menjadi jargon, tren dan ambisi manusia untuk berkomunikasi, berinteraksi dan menikmati hiburan multimedia, kapan saja dan dimana saja.

Kebutuhan manusia dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya telah memasuki fase baru, dimana komunikasi dan interaksi dapat dilakukan melalui beragam media, yang dapat memvisualisasikan keinginannya dalam bentuk semakin nyata, semakin cepat dan mudah. Kebutuhan utama umat manusia ini yang awalnya hanya dapat dilakukan dan divisualisasikan melalui tulisan, gambar (tidak bergerak) dan suara, saat ini sudah jauh meningkat menjadi visualisasi dalam bentuk suara dan gambar video yang semakin nyata, dihadirkan seakan seperti dalam komunikasi visual yang sesungguhnya. Televisi (TV) yang selama ini dikenal sebagai model yang dapat menghadirkan komunikasi audio visual, mulai ditingkatkan fungsinya, bukan hanya sekedar untuk ditonton namun bisa diajak berinteraksi secara personal, sejalan dengan perkembangan peradaban umat manusia.

Tercapainya kemajuan teknologi telekomunikasi telah mendorong industri TV memasuki era dimana personality dan interactivity telah disajikan dengan semakin optimal. Pemirsa telah dipermudah untuk dapat meminta TV mengerti kebutuhan dan keinginannya. Interaksi personal dua arah sudah mulai secara mudah dan murah dilakukan. Hal ini dapat terjadi tidak lain karena begitu cepatnya perkembangan teknologi televisi digital berbasis Internet Protokol ini.

The Killer Broadband Application

Teknologi IPTV memungkinkan pemirsa berinteraksi dengan pesawat TV karena pemirsa yang sebelumnya diposisikan sebagai penonton, saat ini mulai dapat mengambil posisi sebagai “mitra” yang dikenal secara personal oleh penyelenggara siaran TV. Keberadaan, keinginan, kebutuhan dan rencana nya dapat dicatat, dijadwalkan dan kemudian dipenuhi dengan segera oleh operator IPTV tersebut. Pemirsa dapat memperoleh posisi sebagai pribadi special yang memiliki keinginan khusus dan setiap saat dapat dilayani oleh stasiun penyelenggara siaran TV tersebut. Bahkan, juga dapat melakukan koreksi, pooling, rating dan voting sampai dengan usulan perbaikan program yang ditonton secara realtime, pada saat acara sedang berlangsung. Begitu tingginya tingkat personality nya memungkinkan IPTV ini menjadi pilihan menarik bagi para penikmat siaran TV di masa depan.

Menurut laporan dari Telecommunications management Group Inc, yang dipublikasikan di http://reports.tmgtelecom.com/iptv, solusi IPTV ini dianggap sebagai The Killer Broadband Application, dan sejak diluncurkan tahun 2002, memiliki pertumbuhan pelanggan hampir dua kali lipat setiap tahunnya dan di awal tahun 2008 tercatat sudah memliki total pelanggan sebanyak 9,9 juta di seluruh dunia. Diperkirakan di tahun 2010 akan memiliki jumlah pelanggan sekitar 60 juta tersebar di 40 negara di seluruh dunia, dan telah masuk ke phase III dimana service differentiation merupakan target yang harus dicapai oleh para pelakunya. Menurut forecast report yang dilakukan oleh Strategy Analytics US, pasar IPTV di US akan mengalami pertumbuhan revenue menjadi sekitar 14 Milyar Dollar di tahun 2012 meningkat tajam dari angka 694 juta dollar di tahun 2007. Hal ini akibat pertumbuhan jaringan telekomunikasi yang begitu cepat saat ini di US.

Perkembangan teknologinya tidak lepas dari keberhasilan para insinyur dalam merekayasa signal audio dan video yang awalnya berformat analog (linear) menjadi format digital (non linear), yang dikenal dengan digitalisasi. Dalam proses ini dilakukan pemrosesan gambar video menjadi elemen-elemen gambar (picture element) dengan ukuran lebih kecil sebelum diproses lebih lanjut. Hal ini memungkinkan pengolahan gambar dengan lebih sempurna khususnya karena dapat dilakukan proses deteksi dan koreksi kesalahan (error detection and correction) bila terjadi kegagalan dalam proses pengolahan signal, untuk mengembalikan sinyal yang rusak ke bentuk seperti aslinya.

Tujuan Digitalisasi, tidak lain adalah untuk mendapatkan efisiensi dan optimalisasi dalam banyak hal antara lain efisiensi dan optimalisasi spectrum frequency, network transmission, transmission power dan consumption power. Disamping itu untuk meningkatkan kualitas dan stabilitas antara lain agar signal bebas interferensi, derau fading, resolusi menjadi lebih tajam, gambar dan suara lebih stabil. Lebih jauh efisiensi dan optimalisasi tersebut ditujukan untuk menurunkan biaya produksi maupun operasioanl sehingga tarif layanan yang dibebankan kepada pelanggan juga dapat ditekan.

Saat ini beberapa bidang kehidupan sedang mengalami proses migrasi ke teknologi digital, dengan tujuan untuk mendapatkan efisiensi dan optimalisasi. Antara lain digitalisasi bidang telekomunikasi dan bidang penyiaran. Dalam implementasinya ditandai dengan pemanfaatan Jaringan IP misalnya VoIP (Voice over IP), Video Over IP, Mobile TV dan IPTV. Perubahan ini mempengaruhi pola penggunaan open protocol yang selama ini rawan gangguan, menjadi “Virtual Private” dan “Secured” sehingga semakin banyak dapat digunakan dalam berbagai aplikasi khusus misalnya bidang perbankan, militer dan bisnis.

Ditandai pula dengan meningkatnya tantangan pada QoS (Quality of Services), QoE (Quality of Experience), Interoperability, User mobility dan Network Management yang merupakan jantung dari keberhasilan system digital tersebut. Disamping itu di bidang regulasi juga ditandai dengan perubahan dari Fully Regulated (PSTN, TV Analog) menjadi Less Regulation (NGN, WiFi, WiMax, IPTV), yang mengharuskan pemerintah harus bertindak extra hati-hati dan bijaksana dalam menerapkan peraturannya.

Rezim regulasi telekomunikasi Terpisah yang selama bertahun-tahun belakangan ini dijadikan pegangan, cepat atau lambat akan berubah menjadi regulasi yang konvergensi / terpadu. Begitu pula cara penghitungan tarif yang selama ini dianut misalnya frequency based mulai berubah menjadi bit stream based. Hal ini juga ditandai dengan terjadinya tren penurunan tarif secara darstis yang dibarengi dengan migrasi Layanan menuju Multimedia Broadband Service yang menuntut operator seluler untuk melengkapi infrastruktur kerajaan bisnisnya dengan fasilitas layanan multimedia agar tidak tergerus oleh para competitor yang hadir dengan segala fasilitas berteknologi super modern, teknologi bersifat netral dan teknologi multi platform yang telah menandai lahirnya era konvergensi multimedia.

Jaringan Tertutup dan dan Aman

IPTV berbeda dengan Internet TV yang menggunakan jaringan internet publik yang bersifat terbuka, dimana setiap orang dapat menjadi bagian dari jaringan internet tersebut tanpa harus melapor atau diketahui identitas secara jelas oleh operatornya, misalnya seperti pada layanan Youtube, Metacafe, Google Video, Truveo, dan sebagainya. Layanan IPTV ini merupakan solusi pengiriman audio, video dan data melalui IP yang bersifat tertutup (closed circuit) dan proprietary (kepemilikan khusus) dan memiliki kemampuan mengirimkan chanel-chanel layanan audio video dan data yang bersifat secured (aman) sebagaimana yang terjadi di layanan cable TV saat ini. Hanya pelanggan yang terdaftar saja yang dapat menikmati layanannya. Distribusi konten pada IPTV ini dikontrol oleh operatornya dengan sangat ketat.

Layanan IPTV merupakan layanan yang bersifat inherently resource–intensive, yang memiliki fluktuasi kebutuhan (bandwidth) yang relatif tidak dapat diprediksi dan dalam suatu saat dapat memiliki tingkat concurrency (permintaan program secara bersamaan) yang tinggi. Service provider harus melakukan beberapa asumsi dalam menjalankan layanan, agar tetap dapat menjaga kepuasan pelanggannya. Asumsi tersebut antara lain VOD (Video on Demand) / Unicast Concurrency yaitu karena VOD memiliki direct effect terhadap jumlah traffic yang terjadi pada jaringan transmisi, kenaikan 10% pada VOD misalnya, akan mengakibatkan traffic unicast video naik sekitar 20%. Dalam hal ini VOD menjadi major variable pada perencanaan jaringan dan reliable service delivery.

Asumsi lainnya adalah Broadcast Channel Concurrency yaitu jumlah broadcast channel yang ditonton oleh pelanggan akan sebanding dan mempengaruhi multicast replication pada jaringan. Asumsi HD Content Growth yaitu pertumbuhan jumlah content HD akan dapat menjadi indikasi deferentiation layanannya. Disamping itu asumsi lainnya adalah STB Proliferation, dimana jumlah STB per household dan beberapa features seperti multi channel viewing for PiP dan multi-angle viewing menjadi faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan bandwidth. Network-based intelligence dan quality of service (QOS) mechanism seperti hierachical QOS (H-QOS) sangat diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya dynamic real-time traffic change, yaitu perubahan lalulintas aliran data yang dapat berubah setiap saat. Untuk itulah diperlukan fasilitas QoS yang sangat ketat. Dalam aplikasinya, layanan IPTV ini merupakan geographically-bound approach yaitu dibutuhkan pendekatan regulasi khusus yang bersifat geografis, dan diperlukan regulasi dan kebijakan bersifat lokal.

IPTV menjadi menarik karena memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki layanan lainnya. Beberapa feature menarik antara lain Personalized e-commerce yang memungkinkan pengiklan (penjual), pelanggan (calon pembeli) dan operator (penyedia layanan iklan) dapat berinteraksi secara personal, terbuka dan relatif tidak terbatas berkenaan dengan product yang ditawarkan dan diperjualbelikan. Feature ini memungkinkan diperolehnya more targeted advertising yang tidak diperoleh dalam layanan lainnya seperti pada Cable TV, DTH (Direct To The Home), Digital Terrestrial TV dan Mobile TV. Kelebihan lainnya adalah menurunnya peluang bagi theft dan piracy yang merupakan masalah klasik yang sulit dihindari khususnya untuk mengurangi kerugian finansial bagi produser dan content provider.

Revenu stream bisnis IPTV bisa datang dari beberapa cara, antara lain dari iuran pelanggan (subscription fee) yang dapat dibuat bervariatif, sesuai dengan variasi layanan yang diberikan, misalnya jumlah, tipe dan kualitas program yang dapat disajikan kepada pelanggan. Cara lainnya adalah melalui jenis layanan yang bisa dibuat sesuai keinginan pelanggan (on demand). Variasi layanan on demand ini antara lain dapat dimulai dari TVOD (True Video on Demand), NVOD (Near Video On Demand), SVOD Subscription VOD dan FVOD (Free Video On Demand). Tingkat yang paling tinggi berdasar jenisnya adalah layanan EOD (Everything Video On Demand). Disamping itu ada pilihan PPV (Pay Per View) dan bahkan masih ada beberapa pilihan lainnya bilamana pelanggan menginginkan untuk melakukan rekaman program tertentu. Ada pilihan PVR (Personal Video recorder) dan NPVR (Network-based Personal Video recorder). Karena sifatnya yang interaktif, maka dalam layanan bisnis IPTV ini dimungkinkan datangnya revenue dari layanan berupa Game interaktif, tutorial, course, program interktif dan acara bersifat hiburan lainnya.

Bagi pelanggan, pilihan personality dan interactivity tersebut merupakan faktor yang paling dominan, yang merupakan superiority layanan ini terhadap layanan multimedia lainnya. Pelanggan dapat memesan video, musik kesayangannya dan layanan aplikasi khusus lainnya kapan saja setiap saat yang diinginkan, bahkan jauh hari sebelum hari H, kita sudah dapat memprogram keinginan kita untuk memperoleh layanan spesial dari sang operator. Dan bila layanan tersebut kurang memuaskan, maka secara pribadi kita bisa memberi saran, kritikan atau masukan kepada operator yang dengan mudah dapat memenuhinya sesuai keinginan tersebut, hal itu dimungkinkan antara lain karena adanya pilihan polling, rating dan vote dalam program layanan yang diberikan.

Dalam implementasinya, paling tidak dikenal dua jenis layanan IPTV yaitu SD (standar definision) dan HD (high definision). SD-IPTV menggunakan video compression berbasis MPEG-2, MPEG-4 Pt.10, H.264 AVC (advanced Video Coding) atau VC-1. Data rates yang diperlukan berkisar 1 – 2 Mbps, sehingga dapat disalurkan menggunakan jaringan ADSL (Asymetric Digital Subscriber Line), ADSL2, FTTP (fiber to the premises) dengan feature BPON / GPON (Broadband / Gigabit Passive Optical Networks).

Sementara itu HD-IPTV juga menggunakan video compression berbasis MPEG-2, MPEG-4 Pt.10, H.264 AVC atau VC-1, memerlukan data rates relatif lebih tinggi yaitu antara 8 – 20 Mbps, sehingga hanya dapat disalurkan menggunakan ADSL2+ atau VDSL2 (Very High Data Rate Digital Subscriber Line) dan FTTP dengan fasilitas BPON/GPON.

Implementasi Layanan IPTV di Dunia

Beberapa operator telekomunikasi kelas dunia telah melihat peluang dan telah mengimplimentasikan layanan IPTV ini sebagai salah satu bagian dalam bisnisnya. Sebut saja France Telecom, salah satu operator telekomunikasi terbesar di Eropa, yang menurut berita yang dipublikasikan di http://www.fierceiptv.com/ pada bulan November 2008 telah memiliki pelanggan sekitar 1.74 juta yang tersebar di seluruh Eropa antara lain di Perancis, Spanyol dan Polandia, meningkat sekitar 76% selama dua kwartal dibanding periode di tahun sebelumnya. Perusahaan yang masuk pasar dengan nama Orange TV ini saat ini juga aktif berekspansi untuk membidik pelanggan di UK.

Disamping itu operator IPTV lainnya adalah PCCW Ltd, yang berkantor pusat di Hongkong dan merupakan bagian dari HKT Group Holdings Limited (HKT). Perusahaan yang merupakan penyelenggara layanan telekomunikasi terbesar di Hongkong dan merupakan pemain bisnis kelas atas bidang ICT (Information and Communications Technologies) yang berbasis pada empat platforms yaitu fixed-line, broadband Internet access, TV dan mobile ini, telah menjalankan bisnis IPTV dan Quadruple Play solution sejak Agustus 2007. Perusahaan ini bahkan telah menandatangani MoU dengan Telkom dan Telkomvision untuk menyelenggarakan layanan bisnis berbasis IPTV di Indonesia pada september 2008 lalu.

Di hampir semua negara, pemain bisnis IPTV selalu dilakukan oleh operator Telekomunikasi, karena operator inilah yang paling siap dan paling sesuai dalam tipikal infrastruktur bisnis dan jaringannya. Beberapa operator IPTV di asia antara lain SingTel - Singapore, Hanaro Telecom – Korea, Chunghwa Telecom - Taiwan, China Telecom/Shanghai Media Group - China dan NTT Communication – Jepang.

Sementara itu dari Eropa ada pemain-pemain besar seperti Deutsche Telekom – Jerman, KPN - Belanda, France Telecom - Perancis, Telecom Italia, British Telecom - UK, Telefonica - Spanyol, Swisscom dan Belgacom. Di Amerika ada Verizon Communication - USA, AT&T – USA, Disamping masih ada beberapa pemain lainnya seperti Pakistan Telecom (PTCL) - Pakistan, Telecom New Zealand dan lain sebagainya. Dari beberapa publikasi yang ada diketahui bahwa pertumbuhan pelanggan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat pesat, berkisar 30-60% per tahun, merupakan pertumbuhan bisnis yang sangat atraktif di bidangnya.

Keuntungan bagi masyarakat

Seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, dari segi teknologi mungkin bukan merupakan isu yang mengkhawatirkan, karena cepat atau lambat teknologi tersebut akan atau sudah masuk ke peradaban masyarakat kita. Apalagi di Indonesia sudah terdapat jaringan berbasis ADSL yang digelar oleh operator telekomunikasi terbesar di Indonesia PT Telkom, yang dikenal dengan nama Telkom Speedy, disamping jaringan FTTN (fiber to the Node), FTTB (fiber to the Building) dan FTTH (fiber to the home) yang sudah digelar luas oleh beberapa operator seperti XL, Biznet, Indosat, Lintas arta dll. Yang menjadi persoalan adalah apakah masyarakat kita sudah siap meghadapi perkembangan tersebut? Apakah kemajuan masyarakat kita sudah dapat sebanding dengan kemajuan teknologi tersebut? Dan apakah teknologi tersebut bermanfaat bagi masyarakat?

Memang akan menjadi ironi bila masyarakat kita belum siap, karena kita yang seharusnya dapat menguasai teknologi, justru akan menjadi dikuasai oleh teknologi. Seperti yang terjadi saat ini, dimana perkembangan teknologi komunikasi seluler begitu merambah masyarakat kita, menohok sampai ke pelosok pedesaan. Kelihatan bahwa masyarakat kita belum siap, skala prioritas kebutuhan penggunaan HP seakan sudah mulai ditempatkan dalam skala yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari kebutuhan akan sandang dan papan sekalipun. Itu yang dapat kita amati dari gaya hidup sebagian masyarakat kita baik di perkotaan dan pinggiran, dimana dengan penghasilan relatif masih rendah namun kemana-mana sudah menenteng HP keluaran terbaru dengan harga dan tingkat penggunaan / percakapan lumayan tinggi.

Menghadapi perkembangan teknologi teknologi tersebut, masyarakat harus benar-benar siap agar tidak terjadi peningkatan kejahatan dan atau perilaku negatif lainnya di masyarakat akibat dampak perkembangan teknologi ini. Karena disamping siaran TV para pelanggan IPTV juga dapat menikmati internet, sehingga solusi layanan ini dapat mempengaruhi perilaku masyarakat luas.

Banyak manfaat dapat diperoleh dengan adanya teknologi IPTV ini, antara lain masyarakat menjadi lebih berpeluang untuk mengakses informasi dengan mudah, aman, dan relatif murah. Mudah karena pelanggan dapat memperoleh layanan berbasis Quadruple Play dimana suara (VoIP), Video (film, snetron, TV dll), layanan data dan Broadband internet dalam satu operator, yang akan memudahkan dalam membayar biaya langganan dan jaminan after sales service nya. Aman karena pelanggan berada di jaringan yang tertutup dan khusus, yang hanya terhubung dengan pelanggan yang benar-benar dikenal oleh operatornya dan Relatif murah biaya langgananya bila dibandingkan dengan berlangganan layanan terpisah dari beberapa operator yang berbeda.

Namun dalam hal ini peran pemerintah menjadi sangat strategis, untuk melakukan pengawasan dan pengamanan berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi. Seperti yang telah dilakukan dalam penanggulangan Insiden Keamanan pada Infrastruktur Informasi Indonesia, dengan pembentukan team ID-SIRTII (Indonesia-Security Incident Response Team on Information Infrastructure), yang diketuai oleh DR. Richardus Eko Indrajit, salah satu pakar TI Indonesia, dan beranggotakan oleh beberapa tokoh yang sangat ahli dan berpengalaman di bidang TI, yang bertujuan untuk mengamankan dan melindungi infrastruktur TI demi kepentingan pemerintah, publik, pendidikan dan bisnis.

Di bidang konten, sudah semestinya peran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) lebih tajam dan tegas, dalam mengawasi dan mengamankan industri penyiaran di Indonesia. Apalagi menjelang diimplementasikan IPTV yang berkonsekuensi pada berlipat gandanya jumlah siaran yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Lebih-lebih dimungkinkannya solusi IPTV melalui TV bergerak (Mobile Television) yang memungkinkan masyarakat berinteraksi dengan televisi di manapun di sela-sela aktivitas sehari-hari. Dimungkinkan kerjasama yang lebih erat antara lembaga pengawas konten ini (KPI) dengan pengawas telekomunikasi (BRTI), karena sistim bisnisnya akan menjadi menyatu sehingga dibutuhkan lembaga pengawas yang kuat, berwibawa dan yang benar-benar menguasai bidang pekerjaaanya.

Diperlukan standar kualitas yang baik dari segi kualitas signalnya, kualitas layanan, maupun kualitas isi siarannya. Peran pemerintah sebagai moderator, mediator dan regulator sangat dinantikan agar setiap adanya perkembangan teknologi dapat diminimalisasi dampak negatifnya terhadap masyarakat luas, disamping optimalisasi teknologinya agar semakin bermanfaat bagi masyarakat luas.

Bernardus Satriyo Dharmanto, Pengamat Konvergensi multimedia

Senin, 15 Desember 2008

Implementasi Siaran Digital Di Indonesia

Jakarta, 25 Februari 2008

http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=berita_kominfo&view=1&id=BRT080225113801

Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:07/P/M.KOMINFO/3/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, telah ditetapkan standar DVB-T sebagai standar penyiaran televisi digital teresterial tidak bergerak di Indonesia. Migrasi dari sistem penyiaran analog ke digital merupakan tuntutan teknologi secara internasional, kita tidak dapat menghindar untuk tidak mengadopsi teknologi siaran digital ini.

Penyiaran digital secara fundamental berbeda dengan analog dimana 1 kanal frekuensi hanya membawa 1 program. Pada siaran digital teresterial, 1 kanal dapat membawa lebih dari 10 program. Dengan menerapkan sistem siaran digital ini maka akan terjadi efisiensi penggunaan kanal.

Sebagai tindak lanjut Peraturan Menkominfo tersebut diatas, akan dibuat peraturan tentang: 1. Rencana Induk Frekuensi Penyiaran Digital Terestrial 2. Standardisasi perangkat penyiaran digital terestrial 3. Jadwal pelaksanaan migrasi dari analog ke digital Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor: 500/KEP/M.KOMINFO/11/2007, telah dibentuk 3 Working Group, yaitu : 1. Working Group Regulasi Sistem Penyiaran Digital 2. Working Group Master Plan Frekuensi Digital 3. Working Group Teknologi Peralatan.

Diharapkan pilot project siaran TV digital dapat dilaksanakan pada tahun 2008 dengan beberapa Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik TVRI sebagai pionir. TVRI akan memasang pemancar TV digital di Jakarta dengan kekuatan 10 kW. Melalui pilot project ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada seluruh pemangku kepentingan tentang siaran TV digital.

Bagi penyelenggara siaran:

Menyiarkan program mereka secara digital dan memberi kesempatan kepada mereka terhadap peluang bisnis baru di bidang konten yang lebih kreatif, variatif dan menarik
Bagi institusi pemerintah: Mendukung penyusunan perencanaan master plan frekuensi digital dengan melakukan pengukuran kekuatan sinyal, interferensi antara analog dan digital, dan pengukuran parameter lainnya serta menyiapkan berbagai perangkat peraturan terkait dengan rencana implementasi siaran digital

Bagi industri elektronik dalam negeri:

Mendukung produksi set top box dan mengukur kinerjanya.
Bagi masyarakat: Memperkenalkan siaran TV digital agar masyarakat dapat membandingkan keunggulan kualitas siaran digital dengan analog.

Pembekuan TV Lokal Ditoleransi Hingga 2010

Senin, 10 November 2008

http://www.kpi.go.id/index.php?etats=detail&nid=705

Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel) benar-benar memperketat operasional stasiun televisi nasional maupun lokal yang belum berizin resmi. Postel hanya memberikan waktu sampai 2010 pada stasiun televisi untuk membekukan diri. Selanjutnya, semua stasiun televisi dialihkan ke digital TV.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jatim Fajar Arifianto Isnugroho. Menurutnya, pembekuan tersebut bukan makna sesungguhnya. Sebab, lebih pas dikatakan sebagai langkah persiapan diri sebelum beralih ke digital TV. ''Ini karena kanal TV sangat terbatas. Langkah paling efisien adalah beralih ke digital TV," kata Fajar.

Untuk Kota Malang misalnya, sampai saat ini hanya tersisa satu kanal atau saluran untuk TV, yaitu kanal 48. Begitu juga dengan kanal radio di saluran 87,9 FM. Padahal, dari data yang ada, sedikitnya 10 stasiun TV lokal dan 20 radio lokal Malang sedang proses memperebutkan kanal tersebut. ''Tidak mungkin Postel meloloskan puluhan pengajuan dengan dua kanal tersisa. Karena itu digital TV diberlakukan," terang dia.Dengan satu kanal digital TV saja, maka puluhan program bisa masuk. Sehingga, masyarakat tidak perlu pindah-pindah channel jika ingin menyaksikan beragam acara. Ibarat rumah makan, dalam satu digital TV terdapat beragam menu dan tinggal memilih. ''Rancangannya seperti itu," tandasnya.

Sayangnya, lanjut Fajar, meski Ditjen Postel telah melayangkan warning, namun konsep digital TV hingga saat ini masih dalam tahap pembahasan. Bahkan, regulasi yang mendukung peralihan itu belum tuntas. Padahal, jika melihat batas waktu yang diberikan, berarti tinggal satu tahun ke depan. Dengan waktu singkat itu mau tidak mau semua stasiun TV siap menyambut era digital. Termasuk kesiapan masyarakat. ''Harusnya sounding regulasi dimulai dari sekarang. Dengan begitu masyarakat tidak kaget," ujar Fajar.

Sementara, berdasarkan data KPID, sampai saat ini di Jatim ada 294 stasiun TV lokal dan radio lokal yang sedang proses izin. Itu masuk periode 31 Oktober sampai 31 Desember nanti. Dari 294 proses perizinan itu, 10 di antaranya adalah stasiun TV lokal daerah Malang. Yakni Damma TV, Singosari TV, Gajayana TV, Agropolitan TV, JTV, Pasuruan TV, Batu TV, Malang TV, Mahameru TV, dan Space Toon. Sedang untuk radio daerah Malang ada 20 yang tahap proses perizinan. ''Proses perizinan juga masih berjalan," terang dia.

Untuk menentukan pembagian kanal tersebut, selama ini Postel mengacu keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76/2003 tentang pembagian kanal. Ada banyak pertimbangan yang dilakukan. Terutama kualitas dan program siaran. Khusus daerah-daerah dengan wilayah padat, Postel melibatkan langsung KPID dan tim seleksi. Daerah-daerah itu di antaranya yakni Malang, Madiun, Banyuwangi, dan Surabaya.

Red dari Radar Malang

Sabtu, 13 Desember 2008

Migrasi TV Digital, Tak Sekadar Berubah

Kompas Cetak, Jumat, 29 Agustus 2008 01:59 WIB

AW Subarkah

Menyongsong hari Lebaran dengan aksesori yang serba digital pada tahun-tahun mendatang nampaknya akan semakin membudaya. Bukan hanya bisa menciptakan peranti yang serba semakin ringkas dan canggih, melainkan juga akan menjadi ikon gaya hidup masa depan.
Era digital tanpa sadar sekarang ini sudah benar-benar semakin menyeruak ke segala bidang yang secara mulus menggantikan era analog. Bahkan, generasi baru sekarang sudah benar-benar terlahir dan hidup di alam digital, semua perangkat yang dikenal sudah merupakan perangkat digital.

Salah satu produk digital yang sukses menjadi ujung tombak agen perubahan ini adalah telepon seluler. Hampir setiap orang ingin memilikinya dan dari situlah transformasi ke era digital dengan mudah bisa terjadi hampir ke seluruh sendi-sendi kehidupan.
Bahkan, ponsel sudah tidak lagi hanya menjadi peranti bercakap-cakap jarak jauh, tetapi juga sudah mengambil alih sebagian tugas komputer yang menjadi perintis dunia digital dan dunia hiburan. Dari sinilah kartu memori muncul dan tumbuh serta sudah menggantikan fungsi kaset dengan lebih baik dan jauh lebih ringkas.

Sekarang yang sedang dirambah transformasi ini adalah dunia televisi. Para vendor jaringan, sebut saja Ericsson dan Nokia, menjadi penggerak. Bukan hanya kebutuhan televisi bergerak, melainkan juga pada kebutuhan layanan high definition television untuk hiburan di rumah-rumah.

Indonesia saat ini juga tengah memasuki fase awal perubahan itu atau istilahnya migrasi penyiaran dari teknologi analog ke digital. Transmisi gelombang radio yang menghantarkan informasi suara dan gambar yang dilakukan secara analog sekarang ini akan secara bertahap diganti dengan transmisi secara digital.

”Tentu bukan sekadar berubah supaya sama dengan negara lain, tetapi sebenarnya yang mahal adalah momentumnya. Migrasi analog ke digital ini tidak dilihat semata-mata dari pendekatan teknis saja, langkah-langkah ikutannya yang sangat penting dan ini juga sudah kami persiapkan sehingga momentum perubahan ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya,” kata Mohammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), dalam wawancara khusus dengan Kompas pekan lalu di Kantor Depkominfo, Jakarta.

Sasaran

Memang akan terjadi perubahan besar-besaran dan ini tentu merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan pembenahan. Untuk memaknai momentum migrasi, nampaknya sudah dipersiapkan Depkominfo, setidaknya Menkominfo melihat ada tiga aspek yang bisa dilakukan.
Pertama, momentum ini akan menjadi saat yang tepat untuk melakukan pembenahan frekuensi yang dialokasikan untuk penyiaran TV. ”Masalah frekuensi yang ilegal itu bukan hanya banyak, tetapi buanyak sekali, mulai dari model bonek sampai yang mengikuti prosedur. Dengan teknologi digital akan ada digital devident sehingga dengan pembenahan ini pendapatan negara juga akan naik dengan sendirinya,” ucap Nuh.

Aspek kedua adalah mulai mengatur konten, dalam hal ini nanti yang memiliki kewenangan mutlak adalah Komisi Penyiaran Indonesia. Nanti sebuah stasiun televisi harus mengalokasikan waktunya sekian persen dari jam tayang setiap hari untuk tayangan yang berdedikasi.
Sasaran ketiga adalah mulai memisahkan antara penyedia konten (content provider) dan penyedia jaringan (network provider), di mana pada saat ini setiap stasiun televisi bertindak untuk kedua-duanya. Diharapkan, konten televisi nanti akan berkembang lebih beragam dan bahkan perusahaan penyedia konten tidak harus membangun jaringannya sendiri.
Saat ini perkembangan migrasi baru mulai pembentukan konsorsium untuk melakukan uji coba penyiaran secara digital. Sementara itu, migrasi ini secara keseluruhan diberi waktu sampai 10 tahun dari sekarang, dengan perhitungan life-time pesawat televisi akan habis selama itu sehingga masyarakat tidak terlalu dirugikan.

”Konsorsium minimal beranggotakan enam perusahaan. Kenapa enam? Kami sudah memperhitungkan dengan minimal enam anggota tidak ada konsorsium yang seluruh anggotanya merupakan satu grup perusahaan saja. Jangan ada yang memanfaatkan untuk monopoli. Selain itu, memang dalam uji coba ini satu kanal untuk enam siaran,” kata mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya ini.

Melihat antusiasnya, uji coba ini diperkirakan akan ada sekitar tiga konsorsium yang akan ambil bagian. Mereka itu selain 11 stasiun televisi (10 swasta dan 1 publik), juga para pemilik jaringan telekomunikasi yang akan memanfaatkan kesempatan ini.
Untuk bisa menangkap siaran digital mulai dari uji coba nanti pesawat televisi yang dimiliki masyarakat harus menambahkan alat pengubah sinyal digital ke analog atau lazim disebut set-top box. Perangkat ini nantinya harus diproduksi perusahaan dalam negeri.

”Dalam set-top box ini nanti akan ditambahkan perangkat peringatan dini terhadap adanya bencana atau early warning system. Dengan demikian, masyarakat bisa waspada jika terjadi gempa yang dinilai BMG membahayakan keselamatan warga,” tuturnya.
Industri set-top box ini sendiri sudah menarik. Data dari buku Sistem TV Digital dan Prospeknya di Indonesia menyebutkan, pemirsa televisi di Indonesia ada lebih dari 140 juta pasang mata dari segala lapisan umur. Dengan jumlah pesawat (tentunya televisi analog) bisa mencapai 40 juta buah pesawat.

Selain set-top box untuk mengubah sinyal digital yang menggunakan teknologi Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) juga industri ponsel akan diuntungkan. Untuk penangkapan siaran dengan ponsel akan menggunakan teknologi DVB for Handheld (DVBH).

Urgensi dan Prospek Kebijakan Sistem Digitalisasi Radio-Televisi

Paulus Widiyanto

Co-Chairman Masyarakat Infomasi Indonesia, disampaikan dalam workshop KPID Jawa Tengah

Era digitalisasi penyiaran di Indonesia sudah pasti akan datang, cepat atau lambat, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap kita menghadapinya, karena begitulah kecenderungan global tentang dunia penyiaran. Inovasi teknologi penyiaran adalah suatu hal yang tidak terelakkan di masa depan.

Kita diperhadapkan dengan kata-kata kunci baru tatkala mempelajari digitalisasi penyiaran, seperti terminology teknologi kompressi MPEG (Moving Picture Experts Group) 2 dan 4, multiplex, simulcast, dan masih banyak yang lain. Namun digitalisasi penyiaran tidak hanya persoalan teknologi semata, tetapi juga aspek ekonomi, sosial, hukum, dan juga politik, sehingga persoalan digitalisasi penyiaran di Indonesia perlu dilihat secara komprehensif. Di sana ada persoalan state interests, corporation interests, consumers interests, juga public interests yang saling berinteraksi.

Pemerintah Indonesia telah menentukan migrasi sistem penyiaran terrestrial dari analog ke digital, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Infomatika RI Nomor 07/P/M.Kominfo/3/2007 tertanggal 21 Maret 2007 Tentang Standar Penyiaran Digital Terrestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, ditetapkan standar penyiaran digital terrestrial untuk televisi tidak bergerak di Indonesia yaitu Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T). Tatkala pemerintah memutuskan standar penyiaran digital DVB-T berlaku di Indonesia, ini berarti kita sudah masuk dalam sebuah mazhab sistem penyiaran digital Eropa, dan tidak ikut mazhab Amerika Serikat ATSC (Advanced Television Systems Committee). Keputusan ini mempunyai implikasi ekonomi-politik dan bisnis penyiaran Indonesia masuk ke dalam pasar global penyiaran, baik dari segi piranti atau peralatan teknologi penyiaran maupun program isi siaran.

Sistem penyiaran TV digital DVB dikembangkan berdasarkan latar belakang pentingnya sistem penyiaran yang bersifat terbuka (open system) yang ditunjang oleh kemampuan interoperability, fleksibilitas dan aspek komersial. Sebagai suatu open system, maka standar DVB dapat dimanfaatkan oleh para vendor untuk mengembangkan berbagai layanan inovatif dan jasa nilai tambah yang saling kompatibel dengan perangkat DVB dari vendor lain.
Selain itu, standar DVB memungkinkan terjadinya cross-medium interoperability yang memungkinkan berbagai media delivery yang berbeda dapat saling berinteroperasi. Salah satu aspek dari interoperability adalah bahwa semua perangkat yang DVB-compliant dari vendor yang berbeda dapat dengan mudah saling terhubung dalam satu mata rantai penyiaran. (Lihat Harry Budianto dkk “Sistem TV Digital dan Prospeknya di Indonesia’ Multikom Indo Persada, 2007).

Namun bagaimana kesiapan para pemangku kepentingan penyiaran di Indonesia menghadapi era digitalisasi penyiaran, padahal banyak sekali pekerjaan rumah regulator penyiaran yang belum selesai, manakah yang harus jadi prioritas? Sebutlah Sistem Siaran Jaringan (SSB) yang seharusnya mulai berlaku 28 Desember 2007, ditunda sampai 2009. Sekarang sudah sampai dimana pelaksanaan SSB bagi penyiaran di Indonesia. Bagaimana pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi? Bagaimana wilayah layanan penyiaran radio dan televisi? Bagaimana sebenarnya Roadmap dunia Penyiaran dan Telekomunikasi Indonesia? Migrasi dari sistem analog ke sistem digital akan ditempatkan dalam roadmap yang seperti apa? Bagaimana kepentingan public ditempatkan pada posisi roadmap tersebut, di tengah-tengah state interest, corporation interest dan consumer interest? Bagaimana kesiapan pembiayaan migrasi ke digital? Siapa yang harus membayar? Social and political cost-nya bagaimana? Siapa korban dan siapa peraih keuntungan dalam migrasi analog ke digital?

Tampaknya perdebatan public di Indonesia tentang proses migrasi ke sistem digital dunia penyiaran belum begitu intens, dan masih terbatas pada elite-elite dunia penyiaran, terutama regulator, operator dan vendor yang akan berbisnis hardware equipment dan program siaran dunia. Barangkali banyak pihak dan elemen-elemen masyarakat tidak tahu, merasa tidak perlu, tidak tertarik, dan menilai mahluk seperti apakah sebenarnya digitalisasi penyiaran di Indonesia, di tengah kenikmatan instan menonton dan mendengar program-program siaran radio dan televisi di tanah air saat ini. Diskusinya masih berkutat pada perebutan kanal yang tersisa, dan isi siaran yang penuh dengan mistik, infotainment, sinetron, kekerasan, kebanci-bancian, belum pada “revolusi digital televisi” yang akan mengubah lanskap penyiaran Indonesia di masa depan.

Karena masih langkanya perdebatan public tentang sistem digital penyiaran Indonesia, saya menyambut gembira langkah antisipatif Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah dalam menggagas seminar ini. Makalah ini adalah catataan kritis terhadap langkah-langkah migrasi dari analog ke digital di Indonesia yang masih gelap. Tentu saja kita merasa gembira karena seminar ini merupakan forum dimana kita memang sedang belajar bersama tentang digitalisasi penyiaran.

Lanskap Penyiaran yang baru.

Perkembangan teknologi penyiaran harus dipandang sebagai peluang untuk memperluas dan mengembangkan jangkauan jenis-jenis layanan penyiaran yang dapat disediakan bagi para pendengar dan penonton. Semula kita mendengar siaran radio yang dipancarkan lewat gelombang SW, MW, AM dan kini FM. Para radio broadcasters migrasi dari AM ke FM. Pada awalnya televisi disiarkan melalui VHF kemudian menjadi UHF. Orang nonton televisi hitam putih kemudian berkembang nonton televisi berwarna. Karena di Indonesia kanal-kanal frekuensi UHF sudah habis, maka frekuensi VHF yang ditinggalkan pemain lama, juga dilirik dan diincar pemain baru.

Di dunia pertelevisian, misalnya, setelah ditemukan sistem penyiaran terrestrial yang menggunakan gelombang elektromagnetik/spectrum frekuensi radio, kemudian dikembangkan televisi dengan platform kabel, yang dilanjutkan dengan platform satelit, bahkan kemudian dengan platform internet. Tatkala televisi bisa dipancarkan lewat internet, seperti halnya siaran radio di internet, maka kita sebenarnya sudah masuk pada isu konvergensi. Kasus ini pun menjadi perdebatan menarik di kalangan dunia penyiaran. Digitalisasi pertelevisian - kabel, satelit dan terrestrial - merupakan inovasi teknologi penyiaran yang menciptakan jalan yang menjanjikan suatu peningkatan dalam hal jangkauan dan keberagaman penyiaran di masa depan.

Perubahan cepat teknologi penyiaran, terutama peralihan dari cara-cara pemrosesan dan transmisi secara analog ke digital, telah mentrasformasi landskap penyiaran di berbagai negara. Lanskap penyiaran Indonesia di masa depan perlu dimasukkan ke dalam roadmap penyiaran yang menjadi tugas regulator, bagaimana misalnya aspek ekonomi karena tuntutan revolusi teknologi penyiaran.

Perubahan teknologi penyiaran harus kita bayar mahal. Migrasi dari analog ke digital membutuhkan biaya besar, baik bagi para operator untuk memperoleh dan membangun infrastruktur penyiaran yang baru (peralatan transmisi, studio, cara pembuatan program baru), dan konsumen (membeli pesawat televisi baru dan set-top boks).

Dilihat dari sisi corporation interests, tentu saja perubahan ke digitalisasi penyiaran akan menjadi bisnis besar karena permintaan hardware penyiaran yang begitu tinggi. Dilihat dari sisi consumers interests, bagi mereka yang berpenghasilan besar tentu saja mereka mampu membeli perubahan teknologi ini karena mereka akan memperoleh kenikmatan dan kenyamanan baru. Namun bagi konsumen kecil, perubahan teknologi penyiaran harus mereka bayar mahal, terutama dikaitkan dengan penggantian pesawat televisi dan pembelian set-top boks. Meski pesawat televisi lama masih mampu menangkap sistem digital, namun berangsur-angsur mereka akan terpaksa membeli pesawat penerima televisi yang baru bila akan memperoleh kualitas siaran yang prima.

Apabila persoalan social costs ini tidak dibahas secara terbuka, maka akan ada biaya politik yang harus dibayar mahal kelak di kemudian hari, mengingat public interests akan mewarnai perdebatan di kalangan politisi terutama akan masuk wilayah regulasi. Selama ini regulasi digitalisasi penyiaran di Indonesia hanya diatur lewat Peraturan Pemerintah, belum oleh Undang-Undang, sehingga kekuatan legalitasnya masih terbatas. Seolah-olah urusan digitaliasi penyiaran hanya milik Departemen Kominfo, bukan milik negara (state interests) dimana parlemen dan pemerintah harus sepakat tentang kebijakan public di bidang penyiaran.

Departemen Kominfo sudah merencanakan pada tahun 2018 siaran tv analog sudah switch off.
Di beberapa negara maju, AS misalnya, migrasi ke digital dibiayai negara. Di negara yang masih miskin seperti Indonesia, siapa yang harus membiayai migrasi ke digital? Beberapa operator televisi menyebutkan, biaya migrasi harus dibayar masyarakat, sedangkan pendapat pemerintah tentang migrasi ini, selalu menyebutkan pemerintah tidak punya dana untuk membiayai migrasi ke digital, bahkan uji coba sistem digital beberapa waktu yang lalu dibiayai oleh vendor.

Siapa yang memikirkan dan bagaimana skenario aspek ekonomi dunia penyiaran Indonesia era digitalisasi? Ternyata tidak jelas siapa konseptornya. Permen Menteri Kominfo 21 Maret 2007 juga menetapkan bahwa rencana induk frekuensi penyiaran digital terrestrial, standarisasi perangkat penyiaran digital terrestrial, jadwal proses pelaksanaan peralihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital termasuk masa transisi penyelenggaraan penyiaran analaoag dan digital secara bersamaan (simulcast periode) akan ditetapkan dengan Permen tersendiri. Kepada semua lembaga penyiaran jasa televisi terrestrial di Indonesia serta industri dan perdagangan terkait dapat mulai mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan peralihan (migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran digital.

Kita perlu belajar dari keberhasilan dan kegagalan beberapa negara dalam melakukan migrasi dari sistem analog ke sistem digital. The best practices bisa menjadi rujukan, juga the worst practices bisa dipakai sebagai perbandingan dalam upaya menerapkan sistem baru ini, agar kita tidak masuk dalam “lubang” perangkap bisnis penyiaran global. Barangkali lembaga penyiaran swasta bermodal kuat siap untuk bermigrasi, bahkan lembaga penyiaran berlangganan di Indonesia telah ber-migrasi ke digital, namun bagaimana kemampuan lembaga penyiaran swasta lokal, lembaga penyiaran public dan lembaga penyiaran komunitas untuk bermigrasi mengingat broadcasting equipment mereka yang out of date and out of standard?

Apakah plus minus digitalisasi penyiaran dilihat dari aspek ekonomi? Beberapa pakar penyiaran (Jurgen Von Hagen dan Paul Seabright dalam “The Economic Regulation of Broadcasting Markets”, 2007) menyebutkan beberapa perubahan fitur-fitur utama lanskap penyiaran yang baru:
Sinyal-sinyal penyiaran dapat dienkripsi, sehingga memungkinkan operator penyiaran menghalangi orang-orang yang tidak membayar langganan set-top box kendati secara relative harganya murah. Penyiaran radio tetap gratis tanpa bayar karena para pendengar relative enggan membayar sebagai pelanggan. Operator penyiaran televisi cenderung berniat untuk menghentikan siaran sebagai barang-barang public sehingga akan memaksa konsumen membelinya dengan harga tertentu. Namun masih banyak regulator yang tetap memilih untuk memasok siaran sebagai barang-barang public.

Digitalisasi sinyal telah memungkinkan kompresi konten siaran ke dalam spectrum frekuensi yang tersedia. Kelangkaan spectrum tidak lagi merupakan hambatan bagi operator baru masuk pasar penyiaran.
Digitalisasi juga memungkinkan karakteristik-karakteristik konten siaran yang menjadi perhatian penonton televisi - seperti kualitas gambar dan suara, ketepatan waktu, kaya tampilan multimedia - tergantung pada platform (satelit, kabel, terrestrial, computer) yang mentransmisikan konten siaran. Konten siaran yang ditransmisikan lewat platform satelit akan bersaing dengan operator penyiaran platform kabel. Konten siaran yang sama dapat ditransmisikan ke pesawat penerima televisi, ke computer, dan berangsur-angsur ke telepon genggam. Situs internet mampu menyediakan konten multi-media yang berangsur-angsur akan serupa dengan konten siaran yang disediakan oleh penyiaran tradisional (radio dan televisi), dan bahkan banyak operator menggunakan situswebnya sebagai portal mereka untuk menarik penonton dan memberikan mereka tambahan sumber-sumber informasi lain.

Pemrosesan dan transformasi konten oleh konsumen atau pengguna akhir menjadi lebih canggih lagi karena computer dan macam-macam piranti pemrosesan digital (DVD recorders) menjadi tersedia lebih luas bagi rumahtangga. Hal ini berarti meng-copy menjadi lebih mudah, sehingga membangkitkan isu tentang pembajakan.

Mengecilnya biaya komputerisasi dan bentuk-bentuk lain pengolahan informasi dan biaya-biaya operasional teknik pembuatan program karena tersedia peralatan murah untuk mengambil dan memanipulasi suara dan gambar. Namun hal ini tidak serta merta menurunkan biaya total pembuatan program, karena masih banyak pos anggaran biaya lain yang akan meningkat, apabila akan menghasilkan kualitas program yang prima.

Merumuskan ulang penyiaran?

Banyak para ahli di bidang kebijakan public berpendapat, bahwa selama ini regulasi penyiaran masih tetap bertumpu pada rasionalitas dan asumsi yang ketinggalan zaman, bahwa spectrum frekuensi radio dan kanal-kanalnya adalah sumberdaya yang terbatas. Namun dengan teknologi komunikasi yang baru, maka inovasi ini telah meruntuhkan asumsi lama.

Persoalannya, menurut para ahli public policies, adalah pengelolaan frekuensi (spectrum management). Selama ini pengelolaan spectrum frekuensi dilakukan secara tidak efisien dan tidak efektif, termasuk di Indonesia (ada negara yang mengelola dengan bandwidth 6,7 dan 8 Mhz) yang terlalu boros dan royal. Memang setiap administrator punya alasan-alasan tertentu dalam pengelolaan spectrum frekuensi dikaitkan dengan kondisi kekhasan negaranya.
Di masa lalu, sekarang, dan masa depan sebenarnya totalitas ketersediaan frekuensi di alam bebas secara universal tetap atau tak bertambah. Namun akal budi dan pengetahuan manusia telah mampu menemukan teknologi pembagian frekuensi secara lebih efisien dan efektif. (Ibaratnya besaran kuenya tetap, namun cara membaginya dengan ketebalan yang lebih adil, maka hasilnya makin lebih banyak).

Dalam kaitannya dengan digitalisasi penyiaran di Indonesia, maka kesimpulannya penting adalah cara membagi secara adil (efisien dan efektif) ketersediaan frekuensi di daerah-daerah layanan. The transparent and fair allocation and distribution; spectrum management and the manager; more efficient and effective use of available spectrum.
Dikaitkan dengan konvergensi, atau meleburnya batas-batas antara telekomunikasi, penyiaran dan internet, regulasi penyiaran dan telekomunikasi juga diperhadapkan dengan situasi baru. Tradisi regulasi di Eropa, juga di Indonesia, ada pemisahan antara pengaturan penyiaran dan telekomunikasi. Namun dikaitkan dengan adanya jasa-jasa audiovisual yang lain (website dan video-on-demand) maka perdebatannya juga melebar, apakah jasa seperti ini masuk dalam yurisdiksi regulasi penyiaran.

Meskipun jasa-jasa audiovisual seperti ini belum berkembang di Indonesia, namun kita perlu menetapkan kriteria dasar untuk merumuskan jasa-jasa apa yang masuk penyiaran dan jasa-jasa apa yang bukan penyiaran.
Penyiaran senantiasa dirumuskan lebih dekat pada penekanan konsep komunikasi massa. Titik sentralnya adalah kemampuan teknologi (technological capacaity) yang secara serentak dan simultan menjangkau khalayak massa dan mentransmisikan program audiovisual yang telah ditetapkan sebelumnya. Kualitas program penyiaran mempunyai potensi untuk mempengaruhi perilaku dan opini public, sehingga dengan demikian penyiaran adalah jasa yang perlu lebih diatur oleh regulasi yang kuat, demi memelihara pluralisme dan melindungi konsumen dari kemungkinan manipulasi komersialitas yang tidak semestinya. Karena itu setiap lembaga pennyelenggara jasa penyiaran memerlukan izin dari regulator dan mematuhi aturan-aturan yang berkaitan dengan isi program siaran dan iklan komersialnya.

Sebaliknya jasa-jasa audiovisual lainnya, pada intinya sesungguhnya adalah komunikasi individual. Konsumen atau pengguna secara personal punya inisiatif melakukan kontak dengan situsweb tertentu, bermain produk game tertentu, atau membeli produk online. Hal ini lebih bermakna bahwa perorangan melakukan aktivitas komersial semata, tidak punya potensi kuat mengganggu ranah public, sehingga disimpulkan bahwa jasa-jasa seperti ini tidak memerlukan izin atau berhadapan dengan batasan-batasan khusus.

Namun perdebatan ini belum selesai dibicarakan oleh para penentu kebijakan dan pembuat regulasi, karena ukuran besaran massa (50, 500 atau 5 juta pemirsa) bisa disepakati sebagai parameter wilayah penyiaran atau internet. Karena di Jerman, misalnya, apabila klub Bayern Munchen bekerja sama dengan Youtube, menyiarkan pertandingan sepakbola, ini masuk regulasi apa? Atau apabila klub sepakbola Pelita Jaya bekerja sama dengan KompasTV di Internet untuk menyiarkan pertandingan sepakbola secara online, adakah regulasi yang mengaturnya? Apakah UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, atau UU No 32/2002 tentang Penyiaran, atau UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

Jakarta, 22 Oktober 2008.

Uji Coba Siaran TV Digital Dimulai di Jabodetabek

Kompas Tekno, Jumat, 8 Agustus 2008 18:16 WIB

JAKARTA, JUMAT - Uji coba siaran televisi digital di Indonesia akan dimulai dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) pada 13 Agustus nanti. Hal itu dikatakan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi Mohamad Nuh dalan jumpa pers penjelasan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 27/P/M.Kominfo/8/2008 tentang Uji Coba Lapangan Penyelenggaraan Siaran Televisi Digital di Gedung Depkominfo, Jakarta, Jumat (8/8).
"Masyarakat yang mau menerima siaran digital ini harus dilengkapi dengan alat penerima tambahan yakni set top box pada pesawat televisinya," kata Menkominfo.

Ia menjelaskan set top box ini adalah alat yang akan mengubah sinyal analog ke sinyal digital, maka pemerintah akan membagikan alat ini gratis sebagai uji coba dan bentuk sosialisasi awal.
"Setahu saya pesawat televisi yang diproduksi setelah 2004, sudah dilengkapi dengan penerima sinyal digital, jadi alat ini dipakai untuk pesawat televisi yang dikeluarkan sebelum tahun tersebut," kata M.Nuh.

Sedangkan menurut Dirjen Sarana Komunikasi dan Desiminasi Informasi Freddy H Tulung, saat ini masih berlangsung proses tender untuk penawaran penyedia set top box yang akan dibagikan gratis 800-900 buah.

"Tapi pembagian ini hanya untuk 6-9 bulan masa uji coba, setelah itu ke depannya akan kita dorong tumbuhnya industri set top box dalam negeri yang menyediakan fitur seperti Early Warning System (EWS), pencatat rating, dsb," jelasnya.
Set top box yang akan dibagikan, dibuat di Indonesia dengan bahan-bahan dari dalam negeri yang memuat fitur seperti alarm otomatis tanda bencana (EWS) dan telah siap diujicobakan.Teknologi yang digunakan dalam migrasi dari analog ke digital menggunakan standar broadcast Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) dengan alat penerima (codec) standar MPEG-2.

"Teknologi MPEG sudah ada versi 4, tapi dengan alasan ekonomis, kita pilih MPEG-2," tutur Freddy.Ia menjelaskan dalam uji coba nanti, pemerintah akan melakukan dua siaran tv digital dengan penerimaan tetap (free to air) untuk empat kanal frekuensi yakni 40, 42, 44 dan 46 UHF.

"Uji coba free to air, pemerintah telah menetapkan sistem standar DVB-T, sedang untuk mobile TV akan menggunakan dua kanal yakni 24,26 UHF dengan menerapkan open standard," kata Freddy.

MYS

Roadmap Migrasi ke TV Digital 10 Tahun

Kompas Tekno, Jumat, 8 Agustus 2008 18:27 WIB

JAKARTA, JUMAT - Roadmap yang telah disusun oleh pemerintah terkait kebijakan migrasi dari TV analog ke digital akan diberlakukan sekitar 10 tahun ke depan setelah semua infrastruktur siap termasuk stakeholder yang terlibat. Hal itu dikatakan Dirjen Sistem Komunikasi dan Diseminasi Informasi Freddy H Tulung saat jumpa pers di kantor Depkominfo, Jakarta, Jumat (8/8).

Tahap pertama roadmap ini, dikatakan Freddy, akan dilakukan pada 2008-2012 untuk penghentian lisensi baru untuk TV analog dan mendorong penyelenggara infrastruktur TV digital. Pada 2013-2017 akan dilakukan penghentian siaran analog di sejumlah kota-kota besar dan intensifikasi siaran televisi digital.Sedangkan pada 2018, direncanakan seluruh tv analog tidak lagi beroperasi.

"Saya kira waktu 8-10 tahun sudah cukup, tapi kalau dukungan dari stakeholder kuat, saya yakin tidak sampai 7-8 tahun sudah siap," katanya.
Sedangkan untuk uji coba yang akan dilangsungkan 13 Agustus nanti, menurut Freddy, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang akan menyelenggarakan siaran yakni TVRI dan RRI dengan network provider PT Telkom.

"Kita sudah bicarakan dengan Telkom mengenai persiapannya, untuk LPS (Lembaga Penyiaran Swasta) akan berbentuk konsorsium, tapi saat ini menurut stakeholder TV swasta masih melakukan konsolidasi internal untuk konsorsium tersebut," kata Freddy.

MYS

Pemerintah Sediakan Rp1,2 M untuk Uji Coba TV Digital

Kompas Tekno, Jumat, 8 Agustus 2008 23:12 WIB

JAKARTA, JUMAT - Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) telah menggangarkan dana untuk memulai uji coba TV digital pada 13 Agustus mendatang di wilayah Jabodetabek (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi)."Kita menyediakan Rp1,2 miliar untuk ujicoba siaran digital," kata Menkominfo Muhammad Nuh disela-sela acara Indonesian ICT (Information and Communication Technologies) Award (INAICTA) di JCC Senayan, Jakarta, Kamis. Dana tersebut akan digunakan untuk menyediakan set-top box (semacam decoder yang mengubah sinyal siaran TV digital ke sinyal analog) dalam ujicoba siaran digital yang akan dibuat oleh industri dalam negeri.

Penyediaan set-top box itu akan ditenderkan dengan spesifikasi yang ditentukan Depkominfo. Ada lima perusahaan yang akan ikut tender, yakni PT Inti (Industri Telekomunikasi Indonesia), PT LEN, PT. Panasonic Gobel, PT Polytron Indonesia dan PT. Panggung Electric Citrabuana Surabaya.

"Tender set-top box itu beauty contest dengan spesifikasi dari kita, jadi mana yang paling bagus, murah. Bisa 1.000 sampai 5.000 unit set-top box," jelasnya. Menkominfo mengatakan jumlah set-top box yang dibuat untuk ujicoba siaran digital ini tergantung dari penawaran dari para peserta tender. Depkominfo sendiri memberi spesifikasi set-top box yang mempunyai tiga kemampuan yaitu mengkonversi siaran analog ke digital, untuk Sistem Peringatan Dini Bencana (Early Warning System), dan pendeteksian/monitoring siaran TV yang dilihat pemirsa. Monitoring siaran TV yang dilihat masyarakat melalui set-top box ini berguna bagi pemerintah untuk membuat kebijakan mengenai penyiaran misalnya untuk mengetahui rating suatu acara televisi.

Nuh mengatakan ujicoba siaran TV digital yang direncanakan diresmikan oleh Wapres Jusuf Kalla akan dilakukan selama setahun baik untuk siaran TV terestrial maupun siaran TV bergerak (mobile). Menkominfo menargetkan siaran digital dapat dilakukan secara penuh di seluruh Indonesia pada 2011 atau 2012.Nuh mengatakan keuntungan menggunakan teknologi siaran digital yaitu penggunaan kanal dan frekuensi yang lebih efisien dan optimal.

"Pada analog, satu kanal hanya untuk satu siaran, dengan digital satu kanal bisa untuk empat siaran tv tergantung multiplexer," kata Nuh. Bila siaran digital telah diimplementasikan, Nuh mengatakan pemerintah akan mengkhususkan satu kanal untuk siaran pendidikan."Kanal ini bisa dimasuki oleh Pustekkom Diknas (Depdiknas) yang mengembangkan konten pendidikan tapi belum bisa berperan lebih karena belum mempunyai slot frekuensi untuk siaran," kata Nuh.

Depkominfo sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 07/P/M.KOMINFO/3/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia, yaitu ditetapkan bahwa standar Digital Video Broadcasting for Terrestial (DVB-T) sebagai standar penyiaran televisi digital teresterial tidak bergerak di Indonesia.

Data saat ini di Indonesia terdapat 11 TV berizin siaran nasional, 97 TV berizin regional, 30 TV berlangganan (60 persen TV kabel, 20 persen satelit dan 20 persen Terestrial) serta ada sekitar 300 izin baru yang tak terlayani karena sudah tak tersedia lagi kanal TV.

Sementara itu, dengan siaran TV digital, setiap satu kanal yang lebarnya 7-8 MHz bisa dipakai oleh enam program siaran TV, sehingga selain terjadi optimasi frekuensi juga optimasi bandwidth.

WAH

Quality Of Service Pada IPTV

Broadcast Media, Edisi 07/THN.I/Desember-Januari 2008

Bernardus Satriyo Dharmanto

Sejalan dengan perkembangan peradabannya, kebutuhan manusia dalam berinteraksi dengan pesawat televisi telah berevolusi secara cepat dan saat ini memasuki fase baru dimana televisi bukan hanya untuk ditonton namun bisa diajak berinteraksi secara personal.

TV telah memasuki era dimana personality dan interactivity telah disajikan dengan semakin optimal. Pemirsa telah dipermudah untuk dapat meminta TV mengerti kebutuhan dan keinginannya. Interaksi personal dua arah sudah mulai secara mudah dilakukan. Hal ini dapat terjadi tidak lain karena begitu cepatnya perkembangan teknologi televisi digital berbasis Internet Protokol, yaitu IPTV (Internet Protocol Television).

Interactivity dan Personality

Teknologi IPTV memungkinkan pemirsa berinteraksi dengan pesawat TV karena kita yang sebelumnya dianggap sebagai penonton, saat ini mulai dianggap sebagai “mitra” yang dikenal secara personal oleh penyelenggara siaran TV. Keberadaan, keinginan, kebutuhan dan rencana kita dapat dicatat, dijadwalkan dan kemudian dipenuhi dengan segera oleh operator IPTV tersebut. Kita dapat dianggap sebagai pribadi special yang memiliki keinginan khusus dan setiap saat dapat dilayani oleh stasiun penyelenggara siaran TV tersebut. Bahkan kita juga dapat melakukan koreksi, pooling, rating dan voting sampai dengan usulan perbaikan program yang kita tonton secara realtime, pada saat acara sedang berlangsung. Begitu tingginya tingkat personality nya memungkinkan IPTV ini menjadi pilihan menarik bagi para penikmat siaran TV di masa depan.

Perkembangan teknologinya tidak lepas dari keberhasilan para insinyur dalam merekayasa signal audio dan video yang awalnya berformat analog (linear) menjadi format digital (non linear), yang dikenal dengan digitalisasi. Dalam proses ini dilakukan pemrosesan gambar video menjadi elemen-elemen gambar (picture element) dengan ukuran lebih kecil sebelum diproses lebih lanjut. Hal ini memungkinkan pengolahan gambar dengan lebih sempurna khususnya karena dapat dilakukan proses deteksi dan koreksi kesalahan (error detection and correction) bila terjadi kegagalan dalam proses pengolahan signal, untuk mengembalikan sinyal yang rusak ke bentuk aslinya.

Tujuan Digitalisasi, tidak lain adalah untuk mendapatkan efisiensi dalam banyak hal antara lain efisiensi spectrum frequency, network transmission, transmission power dan consumption power. Disamping itu untuk meingkatkan kualitas dan stabilitas antara lain agar signal bebas interferensi, derau fading, resolusi menjadi lebih tajam, gambar dan suara lebih stabil dan dimungkinkannya recovery terhadap gangguan transmisi (Error correction).

Saat ini beberapa bidang kehidupan sedang mengalami proses migrasi ke teknologi digital dengan tujuan untuk mendapatkan efisiensi dan optimalisasi. Antara lain digitalisasi bidang penyiaran dan digitalisasi bidang telekomunikasi. Dalam implementasinya ditandai dengan pemanfaatan Jaringan IP misalnya VoIP (Voice over IP) dan IPTV. Perubahan ini mempengaruhi pola penggunaan open protokol yang selama ini rawan gangguan, menjadi “Virtual Private” dan “Secured” sehingga semakin banyak dapat digunakan dalam berbagai aplikasi khusus misalanya perbankan, militer dan bisnis. Ditandai pula dengan meningkatnya tantangan pada QoS (Quality of Services), Interoperability, User mobility dan Network Management yang merupakan jantung dari keberhasilan system digital tersebut. Disamping itu di bidang regulasi juga ditandai dengan perubahan dari Fully Regulated (PSTN, TV Analog) menjadi Less Regulation (NGN, WiFi, WiMax, IPTV), yang mengharuskan pemerintah harus bertindak extra hati-hati dan bijaksana dalam menerapkan peraturannya.

Rezim regulasi Terpisah yang selama bertahun-tahun belakangan ini dijadikan pegangan, cepat atau lambat akan berubah menjadi regulasi yang konvergensi / terpadu. Begitu pula cara penghitungan tarif yang selama ini dianut misalnya frequency based mulai berubah menjadi bit stream based. Hal ini juga ditandai dengan terjadinya migrasi Layanan menuju Multimedia Broadband Service.

Jaringan Tertutup dan dan Aman

Berbeda dengan Internet TV yang menggunakan jaringan internet publik yang bersifat terbuka, dimana setiap orang dapat menjadi bagian dari jaringan internet tersebut tanpa harus diketahui identitas oleh operatornya, IPTV merupakan solusi layanan pengiriman audio, video dan data melalui IP yang bersifat tertutup (closed circuit) dan proprietary (kepemilikan khusus) dan memiliki kemampuan mengirimkan chanel-chanel layanan audio video dan data yang bersifat secured (aman) sebagaimana yang terjadi di layanan cable TV saat ini. Hanya pelanggan yang terdaftar saja yang dapat menikmati layanannya. Distribusi konten pada IPTV ini dikontrol oleh operatornya dengan sangat ketat.

Layanan IPTV merupakan layanan yang bersifat inherently resource–intensive, yang memiliki fluktuasi kebutuhan (bandwidth) yang relatif tidak dapat diprediksi dan dalam suatu saat dapat memiliki tingkat concurrency (permintaan program secara bersamaan) yang tinggi. Service provider harus melakukan beberapa asumsi dalam menjalankan layanan, agar tetap dapat menjaga kepuasan pelanggannya. Asumsi tersebut antara lain VOD (Video on Demand) / Unicast Concurrency yaitu karena VOD memiliki direct effect terhadap jumlah traffic yang terjadi pada jaringan transmisi, kenaikan 10% pada VOD misalnya akan mengakibatkan traffic unicast video naik sekitar 20%. Dalam hal ini VOD menjadi major variable pada perencanaan jaringan dan reliable service delivery.

Asumsi lainnya adalah Broadcast Channel Concurrency yaitu jumlah broadcast channel yang ditonton oleh pelanggan akan sebanding dan mempengaruhi multicast replication pada jaringan. Asumsi HD Content Growth yaitu pertumbuhan jumlah content HD akan dapat menjadi indikasi deferentiation layanannya. Disamping itu asumsi lainnya adalah STB Proliferation, dimana jumlah STB per household dan beberapa features seperti multi channel viewing for PiP dan multi-angle viewing menjadi faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan bandwidth. Network-based intelligence dan quality of service (QOS) mechanism seperti hierachical QOS (H-QOS) sangat diperlukan untuk mengantisipasi dynamic real-time traffic change, yaitu perubahan lalulintas aliran data yang dapat berubah setiap saat. Untuk itulah diperlukan fasilitas QoS yang sangat ketat. Dalam aplikasinya, layanan IPTV ini merupakan geographically-bound approach yaitu dibutuhkan pendekatan regulasi khusus yang bersifat geografis, dan diperlukan regulasi dan kebijakan bersifat lokal.

IPTV menjadi menarik karena memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki layanan lainnya. Beberapa feature menarik antara lain Personalized e-commerce yang memungkinkan pengiklan (penjual), pelanggan (calon pembeli) dan operator (penyedia layanan iklan) dapat berinteraksi secara personal, terbuka dan relatif tidak terbatas berkenaan dengan product yang ditawarkan dan diperjualbelikan. Feature ini memungkinkan diperolehnya more targeted advertising yang tidak diperoleh dalam layanan lainnya seperti Cable TV, DTH (Direct To The Home), Digital Terrestrial TV dan Mobile TV. Kelebihan lainnya adalah menurunnya peluang bagi theft dan piracy yang merupakan masalah klasik yang sulit dihindari khususnya untuk mengurangi kerugian finansial bagi produser dan content provider.

Bagi pelanggan, feature personality dan interactivity merupakan faktor yang paling dominan, yang merupakan superiority layanan ini terhadap layanan multimedia lainnya. Sifat IPTV yang mampu melakukan "Push" dan "Pull" content memungkinkan pelanggan disamping dapat menikmati program yang sedang disiarkan oleh operator, juga dapat memesan video, musik kesayangannya dan layanan aplikasi khusus lainnya kapan saja setiap saat yang diinginkan, bahkan jauh hari sebelum hari H, kita sudah dapat memprogram keinginan kita untuk memperoleh layanan spesial dari sang operator. Dan bila layanan tersebut kurang memuaskan, maka secara pribadi kita bisa memberi saran, kritikan atau masukan kepada operator yang dengan mudah dapat memenuhinya sesuai keinginan tersebut, hal itu dimungkinkan antara lain karena adanya feature polling, rating dan vote dalam program layanan yang diberikan.

Paling tidak dikenal dua jenis layanan IPTV yaitu SD (standar definision) dan HD (high definision). SD-IPTV menggunakan video compression berbasis MPEG-2, MPEG-4 Pt.10, H.264 AVC (advanced Video Coding) atau VC-1. Data rates yang diperlukan berkisar 1 – 2 Mbps, sehingga dapat disalurkan menggunakan jaringan ADSL (Asymetric Digital Subscriber Line), ADSL2, FTTP (fiber to the home) dengan feature BPON / GPON (Broadband / Gigabit Passive Optical Networks). Sementara itu HD-IPTV juga menggunakan video compression berbasis MPEG-2, MPEG-4 Pt.10, H.264 AVC atau VC-1, memerlukan data rates relatif lebih tinggi yaitu antara 8 – 20 Mbps, sehingga hanya dapat disalurkan menggunakan ADSL2+ atau VDSL2 (Very High Data Rate Digital Subscriber Line) dan FTTP dengan fasilitas BPON/GPON.

Kesiapan masyarakat

Seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, dari segi teknologi mungkin bukan merupakan isu yang mengkhawatirkan, karena cepat atau lambat teknologi tersebut akan atau sudah masuk ke peradaban masyarakat kita. Apalagi di Indonesia sudah terdapat jaringan berbasis ADSL yang digelar oleh PT Telkom, yang dikenal dengan nama Telkom Speedy, disamping FTTH yang sudah digelar luas oleh beberapa operator seperti XL, Biznet, Indosat, Lintas arta dll. Yang menjadi persoalan adalah apakah masyarakat kita sudah siap meghadapi perkembangan tersebut? Apakah kemajuan masyarakat kita sudah dapat sebanding dengan kemajuan teknologi tersebut?

Memang akan menjadi ironi bila masyarakat kita belum siap, karena kita yang seharusnya dapat menguasai teknologi, justru akan menjadi dikuasai oleh teknologi. Seperti yang terjadi saat ini, dimana perkembangan teknologi komunikasi seluler begitu merambah masyarakat kita, menohok sampai ke pelosok pedesaan. Kelihatan bahwa masyarakat kita belum siap, skala prioritas kebutuhan penggunaan HP seakan sudah mulai ditempatkan dalam skala yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari kebutuhan akan sandang dan papan sekalipun. Itu yang dapat kita amati dari gaya hidup sebagian masyarakat kita baik di perkotaan dan pinggiran, dimana dengan penghasilan relatif masih rendah namun kemana-mana sudah menenteng HP keluaran terbaru dengan harga dan tingkat penggunaan / percakapan lumayan tinggi.

Menghadapi perkembangan teknologi teknologi tersebut, masyarakat harus benar-benar siap agar tidak terjadi peningkatan kejahatan dan atau perilaku negatif lainnya di masyarakat akibat dampak perkembangan teknologi ini. Karena disamping siaran TV para pelanggan IPTV juga dapat menikmati internet, sehingga solusi layanan ini dapat mempengaruhi perilaku masyarakat luas.

Dalam hal ini peran pemerintah menjadi sangat strategis, untuk melakukan pengawasan dan pengamanan berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi. Seperti yang sedang dilakukan pemerintah (Depkominfo) dalam menyiapkan instrumen regulasinya, yang bertujuan untuk mengamankan dan melindungi kepentingan publik dalam menyelenggarakan layanan bisnis berbasis ICT ini. Dalam bebrbagai diskusi disampaikan bahwa pemerintah telah berencana untuk mematok, agar untuk bisa menjadi operator IPTV paling tidak harus memiliki 3 ijin sekaligus, yaitu ijin LPB (Lembaga Penyiaran Berlangganan), ISP (Internet Service Provider) dan Jartaplok (Jaringan Tetap Lokal).

Hal ini seperti yang juga telah dilakukan dalam penanggulangan Insiden Keamanan pada Infrastruktur Informasi Indonesia, dengan pembentukan team ID-SIRTII (Indonesia-Security Incident Response Team on Information Infrastructure), yang diketuai oleh DR. Richardus Eko Indrajit, salah satu pakar TI Indonesia, dan beranggotakan oleh beberapa tokoh yang sangat ahli dan berpengalaman di bidang TI, yang bertujuan untuk mengamankan dan melindungi infrastruktur TI demi kepentingan publik, pemerintah, pendidikan dan bisnis.

Di bidang konten, sudah semestinya peran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) lebih tajam dan tegas, dalam mengawasi dan mengamankan industry penyiaran di Indonesia. Apalagi menjelang diimplementasikan IPTV yang berkonsekuensi pada berlipat gandanya jumlah siaran yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Lebih-lebih dimungkinkannya solusi IPTV melalui TV bergerak (Mobile Television) yang memungkinkan masyarakat berinteraksi dengan televisi di manapun di sela-sela aktivitas sehari-hari.

Jadi QoS bisa bermakna multi dimensi, baik dari segi kualitas signalnya, kualitas layanan, maupun kualitas isi siarannya. Peran pemerintah sebagai moderator, mediator dan regulator sangat dinantikan agar setiap adanya perkembangan teknologi dapat diminimalisasi dampak negatifnya terhadap masyarakat luas.

Bernardus Satriyo Dharmanto, Pengamat Konvergensi multimedia

IPTV Masih Terganjal Regulasi di Indonesia

Kompas Tekno, Jumat, 12 Desember 2008 23:21 WIB

BANDUNG, JUMAT — Internet protocol television atau IPTV saat ini sudah banyak diaplikasikan di luar negeri. Namun, untuk dipasarkan di Indonesia masih terganjal proses regulasi dan kesiapan infrastruktur. Demikian dikatakan Head of Solution Architect Ericsson Indonesia, Hindra Irawan, dalam demo IPTV di Hotel Mason, Kota Parahyangan, Bandung Barat, Jumat (12/12).

"Sampai saat ini regulasi di Indonesia belum ditetapkan secara jelas oleh pemerintah. Karena dari segi kemampuan IPTV masuk dalam kategori telekomunikasi, untuk konten masuk dalam kategori penyiaran, dan untuk segi teknologi masuk dalam kategori internet. Terserah pemerintah mau mengizinkan di mana," ujar Hindra.

Selain itu, untuk menggelar IPTV memerlukan wire (sambungan) internet sebesar 12 Mbps per channel. Hindra memperkirakan sampai sekarang belum ada respons positif dari operator-operator telekomunikasi untuk menerapkan IPTV dikarenakan mereka masih belum ada regulasi yang jelas.

Pengguna IPTV sendiri harus ditunjang oleh sebuah alat yang dinamakan set top box (STB) yang fungsinya sebagai interface antara pelanggan dan sistem. "User bisa menggunakan remote untuk mengontrol sistem yang ada di STB yang menyerupai dekoder," lanjut Hindra. Di set top box-nya sendiri terdapat satu Java Virtual Machine, recorder, internet browser, chatting, serta hard disk.

Dia mengatakan, layanan IPTV berbeda dengan multimedia booth yang terpasang di Bandara Soekarno-Hatta. "Karena IPTV yang ada di Bandara Soekarno-Hatta semata-mata hanya mengirimkan gambar melalui IP dan tidak seperti definisi IPTV Ericsson," ujarnya.
IPTV juga berbeda dengan web TV. Untuk IPTV membutuhkan bandwidth yang besar dengan kualitas gambar mulus dan tidak patah-patah. Sedangkan web TV hanya membutuhkan bandwidth kecil sekitar 128 Kbps dan kualitas gambar lebih rendah.

Menurutnya, IPTV minimal dilengkapi dengan STB yang dilengkapi internet protocol multimedia system (IMS) yang mengombinasikan antara mobile internet dan konten broadcast. Untuk infrastruktur yang direkomendasikan oleh Ericsson, setiap pelanggan harus mendapat akses internet dengan kecepatan minimal 12 Mbps.

Dia mengatakan, di luar negeri tarif pengguna IPTV tidak jauh berbeda dengan TV kabel karena nantinya IPTV juga diharapkan akan bersaing dengan TV kabel. IPTV tidak hanya dapat mengatur kanal yang boleh dilihat atau tidak namun juga dapat memberikan alert kepada pengguna mengenai jadwal televisi melalui ponsel. Pengguna juga dapat mengatur perekaman acara yang diinginkan lebih bebas. "Untuk pembayarannya bisa berupa billing, pascabayar atau bisa juga prepaid/prabayar," ujarnya.

Di dunia sampai saat ini sudah ada sekitar 4 juta pemakai IPTV di Amerika, Eropa, dan sebagian Asia. Untuk saat ini, sebenarnya belum ada standardisasi set top box karena sampai sekarang STB masih disesuaikan dengan sistem yang ada di negara yang menyelenggarakan IPTV.
"Karena itu diselenggarakan IPTV forum di mana Ericsson selaku pemrakarsanya. Ke depan semoga ada standardisasi STB sehingga menjadi kompatibel dengan semua sistem," ujarnya. Pembautan STB juga memungkinkan dengan menjalin kerja sama dengan vendor lokal.

Wapres: TV Digital, Teknologi Lebih Baik...

Kompas TV, Rabu, 13 Agustus 2008, 20.35 WIB

Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan peluncuran siaran TV digital di stasiun TVRI, Jakarta, Rabu (13/8). Peluncuran siaran TV digital ini merupakan tonggak awal dimulainya sistem penyiaran digital di Indonesia.

Sistem TV digital sendiri memiliki keunggulan diantaranya, memiliki kualitas penerimaan yang lebih baik dan satu kanal frekuensi bisa digunakan untuk menyiarkan lebih dari satu program siaran TV.

Dalam kesempatan itu, JK juga menekankan agar stasiun TV dapat memberikan tayangan pendidikan dan hiburan yang sehat. Dengan adanya siaran TV digital diharapkan kedepannya Indonesia bisa semakin maju dalam hal pemberian informasi.

Rep/Kam:Alam Penulis:Syarif VO:Maya Editor Video:Dinda

Menkominfo Giatkan TV Digital

Kompas TV, Kamis, 14 Agustus 2008, 13.48 WIB

Era TV digital segera dimulai di Indonesia. Dimana, TV digital nantinya akan memberikan kualitas yang menonjol dalam menerima kualitas frekuensi dan kanal dibandingkan dengan TV analog.

Menteri Komunikasi dan Informasi M. Nuh menyatakan sistem teknologi TV digital memberikan keuntungan dalam penggunaan kanal dan frekuensi yang lebih efesien dan optimal.Pada analog TV, satu kanal hanya untuk satu siaran, dengan TV digital satu kanal bisa untuk empat siaran TV. Dan, bila siaran TV digital telah diimplementasikan, Nuh juga menyatakan pemerintah akan mengkhususkan satu kanal untuk siaran pendidikan, pelayanan publik yang non komersial.

Depkominfo sendiri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 07/P/M.KOMINFO/3/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia.

Reporter/Kameramen:Alam l Penulis: Syariful l VO:Maya l Editor Video:Ucup

Minggu, 07 Desember 2008

Era Radio Digital

Broadcast Media, Edisi 05/THN.I/Oktober-November 2008

Bernardus Satriyo Dharmanto

Radio AM maupun FM yang saat ini hanya dapat menyiarkan layanan suara (audio) saja, dalam waktu dekat dapat memberikan layanan lain berupa gambar dan data secara simultan. Hal tersebut dimungkinkan dengan telah lahirnya teknologi digital radio, Layanan tersebut bisa berupa informasi berita, kepadatan lalulintas dan kecelakaan lalu lintas disertai gambar, informasi pemutaran film, informasi kegiatan, laporan cuaca, layanan games, dan lain sebagainya. Hal ini memungkinkan radio benar-benar menjadi sebuah ”perangkat pribadi” dengan segala fasilitas infotainment di dalamnya. Disamping diperoleh layanan audio dengan kualitas yang jauh lebih tinggi, juga dapat diperoleh tambahan berbagai pilihan dan pengaturan layanan secara individual dan mandiri.

Tujuan Digitalisasi radio lebih jauh adalah untuk memperoleh efisiensi Spectrum Frequency, Network Transmission, Transmission Power dan Consumption Power. Serta untuk memperoleh peningkatan kualitas dan stabilitas signal sehingga bebas interferensi, derau dan fading, resolusi audio menjadi lebih tajam, suara menjadi lebih stabil, dimungkinkan recovery terhadap gangguan transmisi (error correction) serta peningkatan kompatibilitas berupa signal Interoperability dan pengembangan ubiquitous device sebagai pesawat penerimanya disamping diperolehnya peningkatan skalabilitas dari Mono, Stereo menjadi AES-EBU dan bahkan menjadi HD (high definition) Radio.

Apa yang pernah ditulis oleh Albert Einstein : ”Everything should be made as simple as possible, but not simpler” seakan menjadi kenyataan, radio ternyata dapat menjadi media yang lebih powerful dari sekedar pengirim suara biasa. Dan seperti apapun bentuk informasi baik suara, gambar dan data menjadi lebih mudah untuk dipancar kirimkan secara cepat dan akurat dari satu tempat ke tempat lainnya melalui media yang sudah sangat dikenal dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern di muka bumi ini.

Saat ini beberapa Broadcaster di Indonesia khususnya yang menggeluti bisnis radio AM dan FM sudah mulai mempersiapkan pengembangan radio berbasis teknologi digital ini. Hal itu berkaitan dengan dapat diperolehnya suatu nilai tambah apabila digunakan teknologi digital tersebut. Betapa tidak, hanya dengan menambah sedikit investasi, sudah bisa menyandang predikat ”Radio Digital Modern” dengan segala kemewahannya yang berkonsekuensi logis pada peningkatan kesetiaan pendengarnya serta tambahan pundi-pundi income nya.

Walau tidak seperti industri TV dimana migrasi ke digital merupakan suatu urgensi dan bahkan suatu kewajiban, di industri Radio, migrasi ke digital ini merupakan satu pilihan, karena diyakini teknologi FM merupakan teknologi yang sangat mature dan relatif sempurna dilihat dari kualitas signal audio yang dipancarkan dan harga perangkat penerimanya yang sangat murah.
Urgensi pengembangan radio digital ini lebih banyak dilatarbelakangi oleh terjadinya kepadatan penggunaan frekuensi di jalur FM, yang dipicu oleh euforia otonomi daerah dan tumpang tindihnya kewenangan pemerintah pusat (Depkominfo), Pemerintah Daerah (Dinas Perhubungan) dan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) / KPID (KPI-Daerah). Hal ini mengakibatkan beberapa radio AM dan FM baru, dapat dengan mudah bersiaran hanya dengan mengantongi ijin dari Dinas Perhubungan tanpa harus mengantongi ijin dari Depkominfo, sehingga sangat berpeluang menimbulkan penyimpangan alokasi frequency sebagaimana yang sudah direncanakan dalam Masterplan Frequency oleh Depkominfo.


Di era Radio Digital, efisiensi penggunaan kanal frekuensi akan menjadi jauh lebih tinggi karena satu kanal frekuensi dengan lebar yang sama dengan satu kanal radio analog, dapat menampung program siaran yang lebih banyak. Disamping itu penerapan sistem penyiaran digital akan sangat mendukung terjadinya era konvergensi multimedia, dimana penyelenggara siaran radio tidak perlu lagi menyiapkan dan membangun infrastruktur jaringan transmisi sendiri seperti FM transmitter, menara pemancar, saluran transmisi dan antenna, karena dengan mudah dan murah dapat mengirimkan program siarannya melalui lembaga penyedia jaringan transmisi (Network Provider) yang nantinya dapat berupa Telecom Operator, ISP (Internet Service Provider), Television Network Provider maupun Radio Network Provider. Dari sisi pelanggan, diperoleh manfaat dapat diterimanya siaran radio melalui portable device seperti handphone, PDA (Personal Digital Assistance) dan dalam waktu dekat akan muncul perangakat baru bernama ubiquity device dimana dengan pesawat tersebut, kita dapat menerima dan menggunakan segala macam layanan multimedia seperti radio, TV, Internet, Cellular communication kapan saja dan dimana saja.

Ada beberapa standar digital radio yang sudah diperkenalkan, yaitu DAB (Digital Audio Broadcasting), DAB+, DRM (Digital Radio Mondiale) yang keduanya merupakan standar yang mengacu pada teknologi yang berasal dari Eropa, sedangkan DRM+, IBOC (In-Band On-Channel) dari Amerika Serikat dan ISDB-TSB (Integrated Services Digital Broadcasting – Terrestrial Sound Broadcasting) merupak standar radio digital dari Jepang.

Teknologi DAB yang juga dikenal dengan Eureka 147, telah dikembangan sejak awal tahun 1980 an, yang awalnya diadopsi oleh beberapa negara di Eropa, saat ini sudah diadopsi oleh lebih dari 40 negara di dunia. Pesawat penerima DAB sudah tersedia di pasar sejak pertengahan 1998 dan saat ini harganya sudah menjadi sangat rendah yaitu di bawah USD25 (sekitar Rp. 230.000,-). Teknologi berbasis MPEG-1 Audio Layer II audio codec ini dikembangkan dan dikoordinasikan oleh WorldDMB. Dalam perkembangannya pada November tahun 2006 dikembangan teknologi DAB+ yang lebih sempurna yang berbasis HE-AACv2 audio codec, yang juga dikenal sebagai eAAC+. Dilengkapi dengan MPEG Surround format, dan memiliki error correction coding yang lebih kuat bernama Reed-Solomon coding. Walaupun DAB dan DAB+ tidak bisa dipergunakan dalam aplikasi mobile TV karena tidak dilengkapi video codecs, namun teknologi ini menjadi dasar bagi pengembangan DMB Digital Multimedia Broadcasting dan DAB-IP, keduanya dikembangakan di Korea, yang dapat dipergunakan sebagai mobile radio dan mobile TV, karena dilengkapi dengan teknologi video codec yaitu MPEG 4 AVC untuk DMB dan WMV9 untuk DAB-IP. DMB video sub-channel dapat dengan mudah ditambahkan kepada setiap DAB transmission.

Teknologi DAB dapat bekerja pada frequency Band III VHF (Very High Frequency) 174-216MHz yang saat ini dipergunakan oleh siaran TVRI dan beberapa TV swasta khususnya di kawasan Indonesia timur. Satu kanal VHF setara dengan kanal yang dipergunakan satu program TVRI saat ini, dapat dibagi menjadi 4 sub kanal berlebar pita 1.536 MHz, yang masing-masing dapat diisi sampai 10-16 program siaran radio, sehingga total satu kanal VHF dapat menampung sekitar 40 - 64 program radio. Penambahan Multimedia Processor berteknologi DMB pada jaringan DAB ini, akan membuat operator mampu mengirim signal Video yang akan memungkinkan diterimanya signal Televisi penerimaan bergerak pada sisi pelanggan.

Keuntungan bagi penyedia layanan dan pemasang iklan, antara lain akan memperoleh alternatif format isi dan jenis iklan yang lebih inovatif, variatif, flexible, informatif dan dapat mengoptimalkan koneksi dan komunikasi kepada pendengarnya. Sehingga fungsi radio sebagai media ‘komunikasi massa’ menjadi lebih kental dan optimal. Lalu, dapatkah dominasi radio FM digantikan oleh radio Digital? Mari kita tunggu dan kita nilai bersama...

Bernardus Satriyo Dharmanto, Pengamat konvergensi teknologi dan Multimedia

Mengenal TV Digital

Oleh: Restituta Ajeng Arjanti, wawancara dengan Prof. Ir. Gamantyo Hendrantoro, MEng, PhD,

Kantor berita Antara, 27 Mei lalu, melansir berita bahwa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah mempersiapkan migrasi pemancar siaran dan perangkat televisi analog ke digital. Targetnya, proses tersebut bakal rampung pada tahun 2015, untuk seluruh Indonesia. Gaung tentang televisi digital sudah sering diperdengarkan. Teknologinya pun bukan hal baru. Meski begitu, masih banyak orang yang belum paham tentangnya.

Standar TV DigitalAda beberapa standar teknologi TV digital yang dikenal saat ini. Saat dihubungi QBHeadlines.com Kamis (19/6) lalu, Gamantyo Hendrantoro, Kepala Lab Antena dan Propagasi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), membagi pengetahuannya seputar teknologi TV digital.

Menurut Gamantyo, pada dasarnya ada tiga standar utama TV digital, yakni Advanced Television Systems Committee (ATSC) yang berasal dari Amerika, Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T) dari Eropa, dan Integrated Service Digital Broadcasting Terrestrial (ISDB-T) dari Jepang. Tapi kemudian, muncul beberapa varian standar dari Korea dan China. Masing-masing standar memiliki sistem transmisi yang berbeda.“Pemerintah baru memutuskan untuk menggunakan standar penerima yang fixed, tidak bergerak, yakni DVB-T,” tutur Gamantyo saat ditanya tentang standar TV digital yang rencananya akan diimplementasikan di Indonesia. “Belum ada keputusan tentang penggunaan teknologi TV digital yang bergerak,” katanya. Menurutnya, standar tersebut dipilih dengan alasan teknis, karena sudah diterapkan oleh banyak negara. Jika ada kesulitan dalam implementasinya, akan lebih mudah untuk diatasi.

Saat ini, sudah ada banyak layanan TV berlangganan. Apakah siaran TV semacam itu bisa dikatakan sebagai siaran TV digital? “Jika siaran TV berlangganannya menggunakan sinyal yang berasal dari satelit, itu bisa disebut sebagai TV digital,” kata Gamantyo. “Standar yang digunakan untuk siaran TV satelit itu berbeda dengan DVB-T. Namanya DVB-S (Digital Video Broadcasting-Satellite)”, jelasnya.Kelebihan TV DigitalDibandingkan dengan TV analog, penerapan TV digital menawarkan lebih banyak kelebihan. “TV digital lebih hemat spektrum frekuensi. Pada TV analog, satu frekuensi hanya bisa dipakai untuk satu program TV. Sementara, pada TV digital, satu kanal frekuensi bisa dipakai untuk lebih dari satu program, malah bisa lima program acara,” kata Gamantyo.Selain itu, dituturkan olehnya panjang lebar, kualitas sinyal pemancar TV digital lebih baik ketimbang TV analog, untuk kondisi lingkungan yang sama. Contohnya begini. Pada TV analog, tampilan gambar akan rusak atau tampak seperti dobel dan berbayang jika TV terkena pantulan sinar matahari. Pada TV digital, masalah seperti itu tidak akan ditemukan.Dari sisi non teknis, TV digital juga menguntungkan. “Bisnis TV digital memungkinkan munculnya banyak stasiun dan kanal TV baru,” kata Gamantyo. “Ini akan membuka lebih banyak lowongan kerja karena akan mendorong munculnya suplai kanal TV baru.”Keuntungan lain bisa dilihat dari sisi kualitas gambar. “Jika kita menggunakan TV analog, di mobil yang bergerak ngebut, misalnya, gambarnya akan terganggu. Pada TV digital, terutama yang menggunakan standar penerima bergerak, gambar akan terlihat stabil karena penerimaannya bagus,” dia menjelaskan. Beralih ke TV DigitalApa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menerima siaran TV digital? “Yang pasti, pesawat TV harus mendukung standar TV digital―apakah ATSC, DVB-T, atau ISDB-T,” jawab Gamantyo.

Kendati demikian, tidak berarti kita harus membeli perangkat TV baru untuk bisa menikmati siaran TV digital. “Masyarakat ekonomi menengah ke bawah tak perlu mengganti TV lamanya dengan yang baru. Mereka cukup membeli perangkat receiver, semacam decoder untuk mengubah sinyal digital yang mereka terima ke televisinya menjadi sinyal analog, agar bisa ditampilkan pada TV biasa,” kata Gamantyo.Asal Anda tahu, nama alat itu adalah “set-top box”. Rupanya kotak kecil dan diletakkan di atas TV set.Tentang uji coba TV digital, Gamantyo menyampaikan baru pernah dilakukan di Jakarta saja, belum secara nasional. Uji coba tersebut pun baru dilakukan untuk mengukur kualitas sinyal digital dan menghitung kebutuhan daya pancar oleh pihak operator TV digital.Apakah kebutuhan untuk beralih ke TV digital sudah mendesak di Indonesia? Ditanya begitu, Gamantyo menjawab, “Dibilang mendesak tidak juga, tapi makin cepat makin baik karena keuntungannya ada banyak. Coba saja bayangkan. Jika dengan TV digital, satu kanal frekuensi bisa dipakai untuk lima program TV, itu sama artinya TV digital bisa membuka lapangan kerja lima kali lebih banyak daripada analog.”Menurutnya, Indonesia bisa dibilang ketinggalan dibandingkan dengan negara lain yang telah lebih dulu mengimplementasikan TV digital, atau punya target implementasi yang lebih cepat. Saat ini, kata Gamantyo, di Indonesia belum ada pemancar TV digital yang diumumkan. Kalaupun ada, itu masih sebatas uji coba.

Sosialisasi

Mensosialisasikan sesuatu pada masyarakat bukanlah hal yang mudah. Kendati demikian, Gamantyo optimis tak akan sulit mensosialisasikan TV digital pada masyarakat. “Saya rasa tidak sulit karena akan ada masa transisi di mana TV digital akan dioperasikan bersama dengan TV analog, atau secara multicast. Sambil menunggu produksi set-top box semakin banyak dan masyarakat sudah siap untuk menggunakan TV digital, maka barulah siaran analog dimatikan semua agar pindah ke digital,” tuturnya.Selain sosialisasi, masih ada banyak proses yang harus dilakukan untuk mewujudkan TV digital di Tanah Air. Mulai dari persiapan infrastruktur dan teknologi, pengaturan frekuensi, sampai regulasinya. Semua aspek tentu harus dipikirkan dengan matang, apalagi jika ada banyak kepentingan terlibat di dalamnya, bukan hanya konsumen.