Minggu, 26 Oktober 2008

Menyikapi Lahirnya Era Penyiaran Digital

Kamis, 23 Oktober 2008 16:00 WIB
http://tekno.kompas.com/read/xml/2008/10/23/1600400/menyikapi.lahirnya.era.penyiaran.tv.digital

Bernardus Satriyo Dharmanto

MESKI tak diwarnai dengan perayaan yang gegap-gempita, pada 13 Agustus 2008 Indonesia telah menapak ke pintu teknologi penyiaran televisi digital. Peristiwa itu berupa soft launching siaran TV digital oleh TVRI. Langkah ini jelas akan menjadi lokomotif bagi perubahan yang bakal cukup radikal di bidang penyiaran televisi nasional.

Perubahan atau penyesuaian itu tak hanya di sisi penyedia konten dan infrastruktur penyiaran, tetapi juga di masyarakat. Sudah jamak diketahui bahwa masyarakat makin mengandalkan televisi sebagai media informasi sekaligus hiburan, yang ditandai kian tahun kian meningkat peredaran jumlah pesawat televisi. Saat ini ada sekitar 40 juta unit televisi yang ditonton lebih dari 200 juta orang.

Langkah awal perubahan ini bakal menjadi era baru bagi dunia industri televisi nasional, menggantikan era penyiaran televisi analog yang dimulai pada 17 Agustus 1962 berupa siaran percobaan TVRI dalam acara HUT Proklamasi Kemerdekaan XVII Indonesia dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Pada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Teknologi TV digital dipilih karena punya banyak kelebihan dibandingkan dengan analog. Teknologi ini punya ketahanan terhadap efek interferensi, derau dan fading, serta kemudahannya untuk dilakukan proses perbaikan (recovery) terhadap sinyal yang rusak akibat proses pengiriman/transmisi sinyal. Perbaikan akan dilakukan di bagian penerima dengan suatu kode koreksi error (error correction code) tertentu. Kelebihan lainnya adalah efisiensi di banyak hal, antara lain pada spektrum frekuensi (efisiensi bandwidth), efisiensi dalam network transmission, transmission power, maupun consumption power.

Di samping itu, TV digital menyajikan gambar dan suara yang jauh lebih stabil dan resolusi lebih tajam ketimbang analog. Hal ini dimungkinkan oleh penggunaan sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) yang tangguh dalam mengatasi efek lintas jamak (multipath). Pada sistem analog, efek lintasan jamak menimbulkan echo yang berakibat munculnya gambar ganda (seakan ada bayangan).

Kelebihan lainnya adalah ketahanan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi karena pergerakan pesawat penerima (untuk penerimaan mobile), misalnya di kendaraan yang bergerak, sehingga tidak terjadi gambar bergoyang atau berubah-ubah kualitasnya seperti pada TV analog saat ini.

Standar DVB-T dan DAB

Pemerintah telah memutuskan sistem Digital Video Broadcasting-Terrestrial (DVB-T) sebagai standar nasional Indonesia karena dari hasil uji coba yang dilakukan oleh Tim Nasional Migrasi TV dan Radio dari Analog ke Digital, teknologi DVB-T lebih unggul dan memiliki manfaat lebih dibandingkan dengan teknologi penyiaran digital lainnya.

Teknologi ini mampu memultipleks beberapa program sekaligus, di mana enam program siaran dapat ”dimasukkan” ke dalam satu kanal TV berlebar pita 8 MHz, dengan kualitas jauh lebih baik. Ibarat satu lahan, yang semula hanya dapat dimanfaatkan untuk satu rumah, dengan teknologi ini mampu dibangun enam rumah dengan kualitas bangunan jauh lebih baik dan kapasitas ruangan lebih banyak. Di samping itu, penambahan varian DVB-H (handheld) mampu menyediakan tambahan sampai enam program siaran lagi untuk penerimaan bergerak (mobile). Hal ini sangat memungkinkan bagi penambahan siaran-siaran TV baru.
Seorang tenaga ahli dari Jepang sedang menunjukkan beberapa fitur dan aplikasi dalam siaran TV digital di negeri itu kepada delegasi Indonesia yang sedang melakukan studi banding berkait dengan rencana migrasi TV analog ke digital di Indonesia.

Bagi industri radio, secara logis akan ditentukan penggunaan teknologi DAB (Digital Audio Broadcasting) yang dikembangkan sebagai penyeimbang teknologi DVB-T sebagaimana sudah diimplementasikan di lebih dari 40 negara, khususnya negara-negara Eropa. Teknologi DAB bila dikembangkan menggunakan teknologi Digital Multimedia Broadcasting (DMB), yaitu dengan menambahkan DMB multimedia prosesor, akan mampu menyiarkan konten gambar bergerak sebagaimana siaran TV. Hal ini telah menstimulasi para pelaku industri radio untuk mengembangkan bisnisnya dengan menambah konten berupa gambar bergerak, seperti informasi cuaca, peta jalan, video clip, dan film, sebagaimana yang terjadi di industri televisi.

Berbeda dengan industri TV yang harus secara total bermigrasi ke digital karena tuntutan perkembangan teknologi, migrasi digital dalam industri radio hanya sebuah pilihan karena teknologi radio FM dianggap sudah cukup memiliki kualitas dan efisiensi yang baik. Apalagi belum lama ini pemerintah baru selesai menata ulang alokasi frekuensi radio FM yang berkonsekuensi pada perpindahan frekuensi bagi sebagian besar operator radio dan timbulnya biaya investasi tambahan bagi operator radio tersebut. Teknologi radio FM tetap akan bertahan sampai belasan tahun ke depan.

Pertimbangan migrasi

Implementasi sistem TV digital di Eropa, Amerika, dan Jepang sudah dimulai beberapa tahun lalu. Di Jerman, proyek ini telah dimulai sejak tahun 2003 untuk kota Berlin dan tahun 2005 untuk Muenchen dan saat ini hampir semua kota besar di Jerman sudah bersiaran TV digital. Belanda telah memutuskan untuk melakukan switch off (penghentian total) siaran TV analognya sejak akhir 2007. Perancis akan menerapkan hal sama pada tahun 2010. Inggris sejak akhir 2005 telah melakukan uji coba mematikan beberapa siaran analog untuk menguji penghentian total sistem analog bisa dilakukan pada tahun 2012. Kongres Amerika Serikat telah memberikan mandat untuk menghentikan siaran TV analog secara total pada 2009, begitu pula Jepang pada 2011.

Negara-negara di kawasan Asia juga sudah mulai melakukan migrasi total. Di Singapura, TV digital diluncurkan sejak Agustus 2004 dan saat ini telah dinikmati lebih kurang 250.000 rumah. Di Malaysia, uji coba siaran TV digital juga sudah dirintis sejak 1998 dengan dukungan dana sangat besar dari pemerintah dan saat ini siarannya sudah bisa dinikmati lebih dari 2 juta rumah.

Keputusan pemerintah atas penggunaan DVB-T sebagai standar TV digital terestrial akan menjadi lokomotif terjadinya migrasi dari era penyiaran analog menuju era penyiaran digital di Indonesia. Pilihan ini membuka peluang ketersediaan saluran siaran yang lebih banyak, yang berimplikasi dalam banyak aspek. Untuk itu, peran pemerintah menjadi sangat strategis dalam mempersiapkan pengembangan sumber daya manusia yang mampu mengisi dan menjadi pelaku industri penyiaran digital. Momentum penyiaran digital ini diharapkan dapat menjadi pemicu tumbuh dan berkembangnya kemandirian bangsa.

Peran pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika memang terlihat cukup besar. Banyak hal yang telah dilakukan, antara lain pembentukan tiga working group (WG), yaitu WG Regulasi TV Digital, WG Master Plan Frequency, dan WG Teknologi Peralatan untuk Persiapan Implementasi TV Digital. Selain itu, telah dilakukan pembentukan konsorsium uji coba TV digital, pembagian set-top box (STB) kepada perwakilan masyarakat, sampai dengan kegiatan sosialisasi ke berbagai daerah yang melibatkan beragam unsur masyarakat.

Partisipasi aktif pemerintah dalam implementasi teknologi TV digital ini menjadi penting karena migrasi ini akan menimbulkan revolusi di bidang penyiaran. Tulisan Bambang Heru Tjahjono, ketua WG Teknologi Peralatan Depkominfo di Kompas (12/9), dengan jelas mengajak pentingnya keberpihakan pemerintah dalam pengembangan industri nasional dalam implementasi TV digital ini.

Potensi

Banyak potensi industri nasional yang perlu dikembangkan dan dilibatkan untuk berpartisipasi dalam implementasi TV digital ini, seperti PT INTI, Polytron, Panggung, dan Xirka Chipset yang sudah siap dalam industri STB nasional. Begitu pula PT LEN yang telah memfokuskan diri dalam produksi perangkat transmisi. Di samping itu, ada beberapa production house (PH) yang telah siap dalam memproduksi konten berteknologi digital. Peran aktif mereka perlu disambut dan bahkan dipacu agar dapat memberikan kontribusi yang semakin konvergen menuju implementasi teknologi TV digital ini.

Pemerintah perlu memberikan semacam insentif bagi industri nasional yang ingin berpartisipasi dalam produksi perangkat TV digital agar tidak kalah bersaing dengan pelaku industri dari negara lain yang secara agresif telah masuk ke Indonesia, seperti China dan Korea. Apalagi beberapa industri nasional kita sudah siap untuk melakukan customized produknya agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, seperti penambahan fitur Electronic Program Guide (EPG) versi Indonesia, Early Warning System (EWS), fitur Interactivity yang lebih baik, dan tidak kalah penting fitur Peoples Meter yang dapat memberikan fungsi viewer rating dan Polling System yang merupakan komponen penting dalam industri siaran TV.

Fitur terakhir ini sangat penting agar industri TV kita tidak berada dalam kondisi ”terjajah” dan sangat bergantung kepada lembaga survei asing, yang akurasi hasil rating-nya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.

Bernardus Satriyo Dharmanto, Pemerhati Konvergensi Teknologi

Kenapa Memilih MPEG-2

Jumat, 12 September 2008 03:00 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/12/01250275/kenapa.memilih.mpeg-2

Sukemi

Dalam uji coba migrasi televisi analog ke digital yang dilakukan soft launching 13 Agustus lalu telah ditentukan teknologi yang digunakan dalam migrasi tersebut, menggunakan standar broadcast DVB-T dengan alat penerima atau codec standar MPEG-2.

Diakui, sejak lahirnya era multimedia, tayangan video memungkinkan dibuat dalam format digital. File ini memiliki ukuran tertentu yang dinamakan resolusi (dinyatakan dalam panjang x lebar), seperti 320 x 240 pixel, 640 x 480 pixel, dan lainnya. Makin besar resolusi video, maka ukuran bidang gambar yang dapat ditampilkan makin besar pula, demikian juga dengan ukuran file video yang juga makin besar.

Selain resolusi, faktor bit rate atau bandwidth juga memegang peran, di mana nilai ini menentukan seberapa banyak data yang dibutuhkan untuk memainkan file video tersebut per detik. Makin besar bit rate-nya, maka makin tinggi kualitas video digital tersebut. Resolusi yang besar ditambah bit rate yang juga tinggi membuat sebuah file video ”mentah” memiliki ukuran sangat besar. Untuk itu, ada faktor yang tidak kalah penting dalam urusan video digital, yakni teknik kompresi video.

Teknik ini merupakan proses matematis rumit yang bertujuan memperkecil ukuran video, tetapi memberi hasil yang sebisa mungkin sama baiknya seperti video ”mentah” yang tidak terkompresi. Idealnya, kompresi yang baik mampu memberi hasil sebaik mungkin dengan ukuran sekecil mungkin.

Untuk melakukan proses kompresi video, banyak pihak telah turut memberi sumbangsih dengan merancang codec. Sebagai codec standar dunia dalam bidang video digital, selama ini kita kenal MPEG, yang dalam pelaksanaannya kini telah mencapai generasi atau versi 4. Meski demikian, codec standar MPEG-2 yang dibuat pada 1994 tetap masih dipergunakan secara luas, baik untuk urusan video pada keping DVD maupun standar broadcast DVB. MPEG-2 mampu memberikan hasil video yang baik berkat teknik kompresi yang efektif dengan memanipulasi frame pada Group-Of-Picture (GOP).

Sebagai gambaran, pada format DVD yang beresolusi 720 ×x 576 pixel memakai kompresi MPEG-2 memiliki bit rate sekitar 10 megabit per detik. Proses penyempurnaan codec MPEG ini telah melahirkan generasi MPEG-4 pada 1999 dan menjadi pelengkap MPEG-2 untuk bidang multimedia berbasis internet dan perangkat genggam.

MP4

Perkembangan selanjutnya dari MPEG-4 ini telah mencapai tahap ke-10 dan menjadi standar baru yang dinamai MPEG-4 Advanced Video Coding (AVC) atau juga dikenal sebagai teknologi kompresi H.264 pada 2003.

Memang ada kelebihan dari MPEG-4 AVC, di antaranya, pertama, mampu memberi kualitas yang sama baiknya seperti MPEG-2 dengan bit rate yang jauh lebih kecil daripada MPEG-2. Efisiensi tinggi ini didapat berkat teknologi scalable video coding. Dengan bit rate yang kecil, berarti file size-nya menjadi kecil hingga sebuah file video yang dibuat memakai MPEG-4 AVC hanya memiliki file size seperempat dari video yang dibuat memakai MPEG-2 sehingga sekeping DVD dapat menampung beberapa film yang dikompres memakai format MPEG-4 AVC dengan kualitas tetap baik.

Kedua, MPEG-4 AVC menghasilkan gambar lebih baik daripada MPEG-2 pada pemakaian bit rate rendah. Pada kompresi MPEG-2, kualitas gambar hanya dapat dipertahankan bila kita memakai pilihan bit rate tinggi, dan begitu nilai bit rate diturunkan, maka kualitas turun. Namun, MPEG-4 AVC mampu memberi kualitas gambar lebih baik pada bit rate rendah sehingga cocok untuk ruang simpan yang terbatas seperti pada peranti genggam.
Secara umum, MPEG-4 AVC dapat memberikan kualitas gambar yang lebih baik dan mampu mengurangi artefak atau noise akibat proses kompresi. Teknik-teknik baru diperkenalkan dalam teknologi MPEG-4 untuk memperbaiki kualitas gambar, seperti multi-picture inter-picture prediction, lossless macroblock coding, increased precision in motion estimation, dan deblocking filter baru.

Selain itu, MPEG-4 AVC dapat diimplementasikan pada bermacam perangkat dengan berbagai format dari streaming melalui jaringan 3G beresolusi QCIF dengan 15 fps hingga full high definition video beresolusi 1920 x 1080 dengan 60 fps. Oleh karena itu, format ini akan dapat dinikmati oleh pemakai telepon genggam, internet, set-top box, hingga HD-DVD.

Pengganti HDTV

Berkat keunggulan format MPEG-4 AVC ini, bisa diprediksi, format ini akan menjadi pengganti MPEG-2 dalam HDTV digital. Ini karena pada jaringan terestrial (DVB-T) ataupun kabel, bandwidth yang tersedia tidak memadai untuk menyiarkan HDTV. Untuk tiap siaran hanya tersedia sekitar 4 Mbps. Padahal, MPEG-2 dalam resolusi high-definition membutuhkan 15 Mbps. Bagi MPEG-4 AVC yang efisien, bandwidth selebar 4 Mbpas sudah mencukupi untuk memberi tayangan kualitas HD. Operator DVB akan dihadapkan pada pilihan apakah akan memakai bandwidth yang ada untuk tetap menayangkan video digital beresolusi standar dengan format MPEG-2 ataukah video digital HD dengan format MPEG-4 AVC.

Pertanyaannya, kenapa dari sekian banyak keuntungan dari teknologi MPEG-4, kita malah memilih menggunakan MPEG-2? Padahal, teknologi MPEG sudah ada versi 4, di mana terbukti secara teknologi jauh lebih baik dan efisien.

Jawabnya, tentu lebih pada pertimbangan ekonomis karena kenyatannya MPEG-2 memang jauh lebih murah. Ini penting dijelaskan agar masyarakat mengetahui benar terhadap alasan kenapa pemerintah memilih teknologi ini.

Dapat dipahami, jika alat penerima atau codec standar MPEG-4 yang digunakan, masyarakat akan merasa keberatan karena harga alat penerima itu jauh lebih mahal ketimbang harga pesawat televisi analog yang kini dimiliki. Pada titik ini, tentu niat pemerintah untuk memberi batas akhir penggunaan teknologi analog sampai tahun 2018 akan menemui kendala. Murahnya teknologi MPEG-2 karena memang royaltinya akan habis pada tahun 2010, sementara MPEG-4 relatif masih mahal karena royaltinya akan habis pada tahun 2013.

Alasan lain memilih MPEG-2 karena teknologi ini sudah dipakai oleh banyak negara, termasuk negara-negara ASEAN. Sekadar menyebutkan beberapa contoh, negara-negara seperti AS, Jepang, sebagian besar Eropa, Vietnam, Kamboja, Korea, dan India saat ini menggunakan teknologi MPEG-2.

Sukemi, Staf Khusus Menkominfo Bidang Komunikasi Media

Alasan Migrasi Penyiaran Analog ke Digital

Jumat, 29 Agustus 2008 01:59 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/29/01594937/alasan.migrasi.penyiaran.analog.ke.digital

Alasan Migrasi Penyiaran Analog ke Digital

Oleh Sukemi

Menjelang peringatan HUT Ke-63 RI, dunia penyiaran (baca: televisi dan radio) menoreh sejarah baru. Sekalipun awal migrasi penyiaran analog ke digital ini baru berupa soft launching, ini merupakan ”hadiah” ulang tahun yang cukup monumental.
Tentu semua ini bukan sekadar gagah-gagahan supaya terlihat sama dengan negara-negara lainnya, melainkan kesempatan ini merupakan sebuah momentum untuk sekaligus membenahi dunia penyiaran negeri ini. Yang penting dari semua itu juga adalah bagaimana perubahan ini juga dapat mendorong pertumbuhan perekonomian.

Sedikitnya ada enam alasan kenapa harus bermigrasi dari teknologi analog ke digital. Pertama tentu tidak lepas dari tuntutan perkembangan global agar bangsa ini tidak ”keterasingan”. Belum lagi berkait dengan hubungan dagang dan industri serta penanaman modal, yang mau tidak mau harus mengikuti tren perkembangan global itu.
Tuntutan global ini terkait dengan harmonisasi frekuensi di daerah perbatasan dengan negara tetangga. Ini merupakan alasan kedua yang juga menjadi persoalan tersendiri karena memang ranah frekuensi di daerah perbatasan tidak bisa diselesaikan hanya sebatas pada aturan setiap negara. Karena gelombang radio tidak bisa dibatasi oleh batas wilayah geografis, maka antara satu negara dan negara lain memang harus dilakukan harmonisasi. Artinya, jika negara tetangga memang sudah bermigrasi dari analog ke digital, suka atau tidak suka kita pun harus mengikutinya.
Ketiga, mengatasi keterbatasan kanal frekuensi menggunakan teknologi analog. Ini persoalan lain yang kini menjadi perhatian Departemen Komunikasi dan Informatika berkait dengan keterbatasan kanal frekuensi. Seperti diketahui dengan teknologi analog, satu kanal frekuensi hanya digunakan oleh satu program siaran, sedangkan pada teknologi digital, satu kanal dapat digunakan sampai enam program.

Minat masyarakat yang memanfaatkan kanal frekuensi begitu besar. Pada 2007 saja, ada 2.205 permohonan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP), terdiri atas 2.020 (radio) dan 185 (televisi). Dengan keterbatasan teknologi analog yang menyebabkan keterbatasan kanal frekuensi, sudah barang tentu permohonan itu sulit direalisasikan. Dengan teknologi digital, peluang bagi yang ingin memanfaatkan bandwidth bertambah dan pemanfaatan spektrum frekuensi lebih efisien.
Aspek lain yang akan diciptakan adalah efisiensi penggunaan infrastruktur (penggunaan tower bersama). Ini merupakan alasan keempat, di mana nantinya dalam penyiaran digital akan dipisahkan antara penyelenggara atau penyedia konten (content provider) dan penyelenggara jaringan (network provider).

Kualitas

Kelebihan lain dengan digital menjadi alasan kelima, yaitu kualitas gambar dan suara jauh lebih baik, tidak ada noise dan ghost pada tayangan. Pada siaran TV analog, noise bisa menyebabkan menurunnya kualitas audio dan gambar (video) sebelum sinyal mencapai rumah pemirsa.
Sering kali bayangan gambar yang muncul pada teknologi analog akibat adanya sinyal yang datang menyusul, akibat pantulan sinyal dari gedung-gedung sekitarnya. Dengan teknologi baru itu diharapkan tidak ada lagi gambar kabur, gambar ganda (ada bayangan/efek hantu), gambar buram, dan suara berisik. Gambar dan suara dari sebuah TV digital sangat jernih dan bersih.

Teknologi transmisi digital meminimalkan terjadinya gangguan-gangguan itu karena sinyal digital memungkinkan untuk menghindari adanya duplikasi sinyal atau sinyal liar yang mengakibatkan timbulnya noise. Karena itu, tidak akan ada lagi gambar ganda atau bayangan pada tayangannya dan tidak akan ada lagi suara berisik pada speaker. Untuk teknologi transmisinya, Indonesia memilih standar broadcast DVB-T dengan alat penerima atau codec standar MPEG-2.

Alasan keenam adalah menggali potensi pendapatan negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dari tahun ke tahun diharapkan meningkat. Selama ini, dengan teknologi analog, praktis PNBP dihasilkan dari pembayaran Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dari stasiun stasiun radio dan televisi yang hanya beberapa kanal.
Dengan teknologi digital, PNBP dapat diperoleh bukan hanya dari penyelenggara network provider, melainkan juga bisa dari penyedia content provider. Tentu saja alasan keenam atau terakhir ini bukan semata-mata yang diharapkan oleh pemerintah karena hal yang paling utama adalah bagaimana menjadikan momentum migrasi dari analog ke digital di dalam menata lembaga penyiaran. Artinya, tujuannya lebih pada bagaimana mengutamakan kepentingan masyarakat.

Proses migrasi terbagi dalam tiga tahap, pertama mulai 2008-2012 meliputi tahap uji coba; penghentian izin lisensi baru untuk TV analog setelah beroperasinya penyelenggara infrastruktur TV digital; dimulai lisensi baru untuk penyelenggara infrastruktur TV digital; pemetaan lokasi dimulainya siaran digital dan dihentikannya siaran analog; mendorong industri elektronik dalam negeri dalam penyediaan peralatan penerima TV digital.

Tahap kedua, ditargetkan mulai tahun 2013-2017 dengan kegiatan meliputi penghentian siaran TV analog di kota-kota besar dilanjutkan dengan daerah regional lain; serta intensifikasi penerbitan izin bagi mux operator yang awalnya beroperasi analog ke digital.

Tahap ketiga merupakan periode di mana seluruh siaran TV analog dihentikan, siaran TV digital beroperasi penuh pada band IV dan V.

Sukemi, Staf Khusus Menkominfo Bidang Komunikasi Media

Bisakah Era TV Digital Mulai 2009

Kompas, Jumat, 8 Agustus 2008 18:36 WIB

AW Subarkah

ENTAH kehadiran penyiaran televisi secara digital merupakan hal yang ditunggu-tunggu atau malah sebaliknya. Bukan hanya bisnis media televisi yang akan mengalami perombakan total, tetapi jutaan pesawat televisi pun sekarang harus menggunakan alat khusus untuk menerima siaran digital.Peristiwa ini akan menjadi tikungan tajam bagi para pengusaha. Jika tidak siap, mereka akan disalip kompetitor yang ada di belakangnya. Tetapi situasi peralihan ini juga menjadi peluang bagi yang sekarang tertinggal, atau bahkan baru mulai sama sekali, untuk bisa menjadi pemain papan atas.Negara-negara besar yang sudah memulai migrasi ke digital dilakukan secara bertahap sampai akhirnya penyiaran analog seperti sekarang dihapuskan. Bisa saja negeri ini tinggal meniru langkah mereka, tetapi harus diingat negeri ini masih memiliki persoalan kemiskinan yang jauh lebih hebat dari negara-negara maju.

Rumusan

Perlu dirumuskan cara migrasi yang bijaksana, terutama menyangkut masyarakat kecil yang merupakan mayoritas pemirsa televisi analog sekarang. Bagaimana cara memberikan bantuan kepada masyarakat agar mereka tetap bisa menikmati layanan televisi menggunakan perangkat yang mereka miliki saat ini.Jika tidak hati-hati, persoalan ini bisa dipolitisasi, apalagi tahun 2009 ada hajat besar di republik ini untuk memilih pemimpin terbaik. Masalah teknis ini bisa-bisa menjadi komoditas politik yang bisa memanaskan situasi menjelang Pemilu 2009.

Sementara itu, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) telah melakukan berbagai persiapan. Mereka, antara lain, menetapkan penggunaan standar TV digital yang digunakan, yakni teknologi DVB-T (Digital Video Broadcast–Terrestrial), sedangkan standar radio digital masih dalam pengkajian."Depkominfo juga tengah menyiapkan regulasi untuk standardisasi perangkat, sedangkan pemetaan kanal frekuensi untuk penyelenggaraan TV siaran digital terestrial, baik TV siaran dengan penerimaan free-to-air maupun TV siaran digital bergerak (mobile TV), telah dilaksanakan," kata Menkominfo Mohammad Nuh dalam sebuah rapat kerja di Jakarta bersama para anggota Komisi I DPR pada 26 Juni 2008.

Alokasi kanal frekuensi untuk layanan TV digital untuk penerimaan tetap free-to-air DVB-T pada band IV dan V UHF, yaitu pada kanal 28-45 (total 18 kanal). Di setiap wilayah layanan diberikan jatah enam kanal, dengan setiap kanal dapat diisi enam sampai delapan program siaran. Diharapkan pada tahun 2008 atau selambat-lambatnya tahun 2009 dapat dimulai era penyiaran digital di Indonesia.

Dalam waktu dekat akan dilakukan uji coba siaran (field trial) TV digital. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui aspek teknis dan nonteknis untuk dijadikan model bisnis, prediksi kinerja perangkat, dan layanan siaran yang diharapkan oleh masyarakat dan industri penyiaran.

Moratorium perizinanMenghadapi rencana perubahan ini, setidaknya Depkominfo juga mengambil langkah menghentikan sementara waktu (moratorium) permohonan perizinan bagi penyiaran televisi dan radio. Hal ini mengingat akan banyaknya permohonan perizinan baru dan penundaan ini berlaku sampai era penyiaran digital (digital broadcasting)."Kami juga berkeinginan dalam menjaga dan mengembangkan pertumbuhan industri penyiaran yang sehat perlu diciptakan keseimbangan antara jumlah penyelenggara penyiaran dan jumlah iklan yang ada," kata mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya itu.

Hingga saat ini jumlah permohonan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) ada 2.425 permohonan. Untuk jasa penyiaran radio terdapat 2.167 perizinan, dengan rincian Lembaga Penyiaran Publik (LPP) 109, Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) 1.707, Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) 351. Adapun untuk jasa penyiaran televisi sebanyak 258, dengan rincian LPP 12, LPS 179, LPK 13, dan Lembaga Penyiaran Berbayar (LPB) sebanyak 54.

Dengan teknologi penyiaran digital slot untuk kanal frekuensi akan menjadi lebih banyak dan pemanfaatan alokasi frekuensi juga lebih efisien. Selain itu, kemungkinan membuat program yang interaktif dengan melibatkan semua pemirsanya akan lebih mudah.Momentum penyiaran digital dapat membuka peluang yang lebih banyak bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan ekonominya. Peluang usaha di bidang rumah produksi, pembuatan aplikasi audio, video, multimedia, industri sinetron, film, hiburan, komedi, dan sejenisnya menjadi potensi baru untuk menghidupkan ekonomi masyarakat.

Menkominfo menyebutkan, masyarakat juga memiliki kesempatan lebih banyak untuk menjadi pemasok barang dan jasa bidang radio dan televisi digital, menjadi penyedia jasa pemasangan instalasi perangkat radio dan TV digital, membuat program aplikasi, dan kesempatan usaha lainnya.Dalam penyelenggaraan penyiaran digital, Depkominfo saat ini sedang mengkaji penyelenggaraan penyiaran yang terdiri atas penyedia jaringan dan penyedia konten. Kajian ini untuk melihat kemungkinan penyelenggaraan penyedia jaringan yang jumlahnya tidak banyak tetapi membutuhkan investasi yang besar sehingga dalam penyelenggaraannya dapat dilakukan oleh konsorsium.

AW Subarkah, Wartawan Kompas

TV Digital di Indonesia

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/03/tekno/3735730.htm

Bernardus Satriyo Dharmanto

Saat ini populasi pesawat televisi tidak kurang dari 40 juta unit, dengan pemirsa lebih dari 200 juta orang, jauh lebih banyak dibandingkan dengan komputer, misalnya, yang hanya sekitar 6 juta unit. Perkembangan teknologinya telah memungkinkan terjadinya era konvergensi multimedia, dimana infrastruktur TV, Telekomunikasi dan IT telah menyatu sehingga memungkinkan TV dapat menjangkau pemirsa lebih banyak lagi.

Dengan demikian, rencana migrasi teknologi analog ke digital merupakan hal yang harus dipertimbangkan masak-masak agar tidak memberatkan konsumen dan dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh kepentingan tertentu.

Apalagi perjalanan panjang industri televisi di Indonesia ini sudah dimulai sejak tahun 1962 dan sampai saat ini teknologinya tidak berubah. Sejarah ini dimulai dengan pengiriman teleks dari Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina pada 23 Oktober 1961 kepada Menpen Maladi, waktu itu, untuk segera menyiapkan proyek televisi.

Tindak lanjutnya adalah siaran percobaan TVRI yang dilakukan 17 Agustus 1962, dalam acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Pada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Setahun berikutnya mulailah dirintis pembangunan stasiun daerah; dimulai dengan stasiun Yogyakarta, yang mulai siaran pada akhir tahun 1964, dan berturut-turut Stasiun Medan, Surabaya, Makassar, Manado, serta Denpasar yang berfungsi sebagai stasiun penyiaran. Yang kemudian mulai tahun 1977, secara bertahap, dibentuklah stasiun-stasiun produksi keliling atau SPK, yang berfungsi sebagai perwakilan di daerah, bertugas memproduksi dan merekam paket acara untuk dikirim dan disiarkan melalui TVRI Stasiun Pusat Jakarta di beberapa ibu kota provinsi.

Konsep inilah yang kemudian mulai tahun 90-an diadopsi oleh beberapa stasiun TV swasta berjaringan (TV swasta nasional), mulai dari RCTI, SCTV, Indosiar, antv, dan TPI, yang dalam perkembangan selanjutnya juga diikuti oleh Trans TV, Metro TV, Global TV, Lativi, dan Trans7. Kecuali TVRI yang juga bersiaran di kanal VHF (very high frequency), dalam siarannya mereka menggunakan kanal UHF (ultra high frequency) dengan lebar pita (bandwidth) untuk satu program siaran sebesar 8 megahertz (MHz).

Saat ini TV broadcaster di Indonesia juga sedang mendapat "warning" dengan rencana kedatangan teknologi DTV. Sejak tiga tahun lalu, tim nasional migrasi televisi dan radio dari analog ke digital telah melakukan beberapa kajian terhadap implementasi DTV di Indonesia.

Serangkaian diskusi, seminar, workshop, dan lokakarya yang melibatkan tenaga ahli di bidang DTV dari beberapa penjuru dunia telah dilakukan. Bahkan, uji coba siaran digital TV telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2006 menggunakan channel 34 UHF untuk standar DVB-T dan ch 27 UHF untuk standar T-DMB.

Teknologi DVB-T

Dari hasil uji coba siaran digital TV, mereka menilai teknologi DVB-T mampu memultipleks beberapa program sekaligus, di mana enam program siaran dapat "dimasukkan" sekaligus ke dalam satu kanal TV berlebar pita 8 MHz, dengan kualitas cukup baik. Di samping itu, penambahan varian DVB-H (handheld) mampu menyediakan tambahan sampai enam program siaran lagi, khususnya untuk penerimaan bergerak (mobile). Hal ini sangat memungkinkan bagi penambahan siaran-siaran TV baru.

Saat ini ada beberapa standar yang dapat dirujuk di dunia, yaitu ATSC (Advanced Television Systems Committee) yang telah mengembangkan standar single carrier 8-VSB (8-level vestigial side-band) yang telah dikembangkan dan dipergunakan secara luas di Amerika, Kanada dan Argentina; Standar ISDB-T (integrated serviced digital broadcasting), yang menetapkan metoda modulasi multicarrier BST-OFDM (bandwidth segmented transmission-Orthogonal Frequency Division Multiplex) yang dikembangkan dan dipergunakan di Jepang dan kemudian diikuti oleh Brasil.

Selain juga teknologi T-DMB (terrestrial digital mobile broadcasting) dari Korea dan DMB-T (digital mobile broadcasting terrestrial) dari China, serta tentu saja DVB-T (digital video broadcasting-terrestrial) dari Eropa, yang saat ini dipergunakan secara luas di Eropa, Australia, dan Asia.

Sistem ATSC 8-VSB yang pada awalnya dikembangkan di AS untuk mengirim layanan audio video berkualitas tinggi (high quality audio video/HDTV) dan ancillary data, menggunakan arsitektur "layered digital system" yang terdiri atas empat layer, yaitu picture layer yang dapat mendukung sejumlah format video yang berbeda, compression layer yang mengubah contoh sinyal video dan audio ke dalam satu bit stream yang dikodekan (coded bit stream), transport layer yang memaketkan data, dan RF transmission layer yang memodulasi sebuah serial bit stream ke dalam sinyal dengan metode trellis-coding dengan 8 discrete levels signal amplitude yang dapat ditransmisikan melalui channel TV selebar 6 MHz (sampai 8 MHz) dengan data rate 19,4 Mbps.

Merupakan teknologi berbasis single carrier frequency yang menggunakan modulasi vestigial side-band (VSB) yang mirip dengan yang digunakan dalam televisi analog konvensional. Suatu pilot tone disediakan untuk memfasilitasi akuisisi sinyal berkecepatan tinggi di setiap pesawat penerima (receivers). Complex coding techniques dan adaptive equalization digunakan agar tahan terhadap gangguan pelemahan propagasi (propagation impairments), seperti multipath, noise, dan interference .

Adapun sistem OFDM yang digunakan dalam standard DVB-T, ISDB, DMB-T dan T-DMB adalah suatu multicarrier technology yang memecah sebuah single data stream ke dalam paralel, lower rate data streams. OFDM kemudian menggunakan beberapa subcarriers untuk mentransmisikan lower rate streams dari data tersebut secara simultan. Untuk menjamin bahwa masing-masing subcarriers tidak saling interferens satu sama lainnya, spasi frequency di antara subcarriers dipilih secara hati-hati sehingga setiap subcarrier adalah ortogonal terhadap yang lainnya. Teknologi ini juga telah lebih jauh dipergunakan operator seluler untuk mengirimkan paket data telekomunikasinya.

Setiap individual subcarriers kemudian dimodulasi secara quadrature amplitude modulation (QAM) atau bisa juga quadrature phase shift keying (QPSK). Teknik pengodean ("C" di dalam COFDM) dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan sistem. Desain multicarrier dari COFDM ini membuatnya tahan terhadap gangguan transmisi, seperti multipath propagation, narrowband interference, dan frequency selective fading.

Kelebihan

Dalam aplikasinya, dibandingkan dengan COFDM, ATSC 8-VSB diyakini oleh banyak pihak memiliki beberapa kelebihan, antara lain data rate nya lebih tinggi, spectrum efficiency lebih tinggi, carrier to noise ratio (C/N) treshold yang lebih tinggi dan kebutuhan daya listrik transmiternya lebih kecil untuk jangkauan yang sama. Namun, diyakini pula bahwa COFDM lebih tahan terhadap gangguan dinamis dan high level static multipath sehingga lebih cocok diaplikasikan dalam mobile reception operation (model 2k dan model 4k) dan SFN/single frequency networks reception operation (8k mode). DVB-T juga mampu memberikan solusi efisiensi bandwidth dengan teknologi multiplexing.
Terjadinya migrasi dari era penyiaran analog menuju era penyiaran digital, yang memiliki konsekuensi tersedianya saluran siaran yang lebih banyak, akan membuka peluang lebih luas bagi para pelaku penyiaran dalam menjalankan fungsinya dan dapat memberikan peluang lebih banyak bagi masyarakat luas untuk terlibat dalam industri penyiaran ini.

Untuk itu, peran pemerintah menjadi sangat strategis dalam mempersiapkan pengembangan sumber daya manusia yang mampu mengisi dan menjadi pelaku industri penyiaran digital agar momentum penyiaran digital ini dapat menjadi pemicu tumbuh dan berkembangnya kemandirian bangsa. Pemerintah sudah semestinya dapat memfasilitasi dan ikut berpartisipasi secara aktif dalam implementasi teknologi DTV ini karena migrasi ini akan menimbulkan revolusi di bidang penyiaran.

Bagaimanapun pada era penyiaran digital telah terjadi konvergensi antarteknologi penyiaran (broadcasting), teknologi komunikasi (telepon), dan teknologi internet (IT). Dalam era penyiaran digital, ketiga teknologi tersebut sudah menyatu dalam satu media transmisi. Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh ataupun menyampaikan informasi menjadi semakin mudah dan terbuka. Disamping itu para stakholder yang terlibat dalam industri ini juga semakin luas.
Untuk itu, peran pemerintah menjadi sangat strategis dalam mempersiapkan pengembangan sumber daya manusia yang mampu mengisi dan menjadi pelaku industri penyiaran digital agar momentum penyiaran digital ini dapat menjadi pemicu tumbuh dan berkembangnya kemandirian bangsa. Pemerintah sudah semestinya dapat memfasilitasi dan ikut berpartisipasi secara aktif dalam implementasi teknologi DTV ini karena migrasi ini akan menimbulkan revolusi di bidang penyiaran.


VAS dalam Konvergensi Telekomunikasi IT dan Penyiaran

Bagaimanapun pada era penyiaran digital telah terjadi konvergensi antarteknologi penyiaran (broadcasting), teknologi komunikasi (telepon), dan teknologi internet (IT). Dalam era penyiaran digital, ketiga teknologi tersebut sudah menyatu dalam satu media transmisi. Operator seluler yang selama ini hanya mampu mengirim content berupa voice (suara), data (tek SMS, pesan multimedia, gambar) dan video beresolusi rendah, dalam era TV digital ini akan mampu berperan sebagai network provider yaitu penyedia saluran transmisi bagi industri penyiaran TV, baik TV siaran terrestrial, TV berlangganan (pay TV) maupun IPTV (Internet Protocol TV), yang mampu menyediakan saluran transmisi bagi siaran video beresolusi tinggi.

Mengingat karakter masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan dengan tingkat pendidikan yang sangat beragam, diperlukan tuntunan kepada masyarakat bagaimana memilih program yang benar. Untuk itu, diperlukan broadcaster yang bertanggung jawab dan adanya lembaga pengawas konten yang berwibawa.

Momentum penyiaran digital dapat membuka peluang yang lebih banyak bagi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya. Peluang usaha di bidang rumah produksi, pembuatan aplikasi-aplikasi audio, video dan multimedia, industri senetron, film, hiburan, komedi dan sejenisnya menjadi potensi baru untuk menghidupkan ekonomi masyarakat.

Tambahan layanan VAS (Value Added Srvices) berupa multimedia content inilah yang dapat menjadi nilai tambah bisnis Telekomunikasi dan IT untuk berkompetisi lebih jauh untuk memperoleh tambahan income bisnisnya . Diyakini, semakin besar pipa saluran data dapat disediakan, semakin besar pula peluang memberikan layanan multimedia yang semakin murah, variatif dan interaktif kepada pelanggannya.

Penyediaan jaringan berbasis PDH (Plesiochronous Digital Hierarchy) seperti E1 (2 Mbps), E2 (8 Mbps), E3 (34 Mbps), E4 (140 Mbps) dan SDH (Synchronous Digital Hierarchy) seperti STM-1 (155 Mbps), STM-4 (622 Mbps), STM-8 (1.2 Gbps), STM-16 (2.4 Gbps), merupakan jaringan tulang punggung telekomunikasi yang biasa dipergunakan untuk jaringan transmisi utama telepon (telephone trunk transmission). Dan juga penyediaan jaringan VPN (Virtual Privat Network) seperti MPLS (Multi Protocol Label Switching) dan sejenisnya dapat menjadi saluran yang cocok bagi siaran TV Digital. Solusi lain yang lebih ideal adalah yang mampu menyediakan transport dan agregasi yang lebih cost effective dari beberapa generasi teknologi dan layanan wireless melalui jaringan mobile backhaul berbasis paket berkapasitas tinggi (high-capacity, packet-based mobile backhaul network), yang mampu memberikan solusi transport dengan bandwidth yang efisien untuk layanan berbasis 2G (TDM), 3G (ATM) dan 3G/4G (IP).

Dengan demikian akses masyarakat untuk memperoleh ataupun menyampaikan informasi menjadi semakin mudah dan terbuka. Konvergensi ini akan memberikan keuntungan kepada masyarakat penggunanya, lebih jauh lagi tentu akan bermuara pada meningkatnya peluang masyarakat memperoleh akses informasi dan peningkatan tingkat kehidupan ekonomi. Masyarakat akan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi berskala lokal, regional maupun global.

Mengingat karakter masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan dengan tingkat pendidikan yang sangat beragam, diperlukan tuntunan kepada masyarakat bagaimana memilih program yang benar. Untuk itu, diperlukan broadcaster yang bertanggung jawab dan adanya lembaga pengawas konten yang berwibawa.

Momentum penyiaran digital dapat membuka peluang yang lebih banyak bagi masyarakat dalam meningkatkan kemampuan ekonominya. Peluang usaha di bidang rumah produksi, pembuatan aplikasi-aplikasi audio, video dan multimedia, industri senetron, film, hiburan, komedi dan sejenisnya menjadi potensi baru untuk menghidupkan ekonomi masyarakat.
Sebagaimana yang sudah terjadi di negara-negara maju, suatu saat akan datang teknologi multimedia home platform (MHP), di mana segala macam aktivitas kehidupan modern, seperti perbankan, bisnis, entertainment, sport, permainan, video on demand, digital pay TV, movie on street, internet TV, laporan cuaca, pembelajaran jarak jauh, doa interaktif dan lain-lain. dll, dapat dilakukan di rumah dan di mana saja dengan memanfaatkan teknologi DTV ini.

Bernardus Satriyo Dharmanto, Pemerhati Penyiaran dan Konvergensi Teknologi

Ditolak, Sistem Siaran TV Digital dari Jepang

Audio Visual. Kamis, 07 Juni 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/07/Audio/3574908.htm

Bambang Heru Tjahjono

Ada satu peristiwa menarik yang terjadi belum lama ini berkaitan dengan rencana implementasi siaran TV digital di Indonesia. Tim Nasional Migrasi Sistem Penyiaran dari Analog ke Digital menolak tawaran teknologi sistem siaran televisi digital dari Jepang yang telah didemokan di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, pada 28 Februari 2007.

Seperti dilansir beberapa media, alasannya adalah karena keterlambatan Jepang dalam menawarkan teknologi ISDB-T buatan mereka setelah sebelumnya Tim Nasional sepakat merekomendasikan teknologi Eropa DVB-T sebagai standar sistem siaran TV digital untuk pelanggan tetap di Indonesia.

Sebelum ini, proses implementasi siaran TV digital di Indonesia terasa kurang terdengar gaungnya di media massa. Padahal, Tim Nasional telah bekerja keras sejak awal 2005 untuk mempersiapkan jalan migrasi dari siaran TV analog ke digital. Sistem siaran TV digital dengan berbagai keunggulannya memang menjanjikan berbagai keuntungan pada masa depan.

Penonton jadi lebih nyaman menonton siaran TV dengan kualitas gambar lebih tinggi serta terintegrasi dengan fitur layanan multimedia lainnya, termasuk yang bersifat interaktif. Semakin tingginya tingkat layanan dan jenis fitur yang dapat disediakan dengan sistem baru ini juga menjadi daya tarik bagi operator TV.

Tim Nasional

Di samping itu, tren teknologi siaran TV di mancanegara pun sedikit demi sedikit telah bergeser dari analog ke digital. Maka, mau tak mau sudah waktunya pula Indonesia memikirkan mekanisme migrasi dari siaran TV analog ke digital. Mekanisme ini harus terencana baik agar tidak memberatkan masyarakat sebagai konsumen maupun operator TV dan penyedia konten, serta memudahkan penyusunan dan pengawasan regulasi oleh pemerintah.

Dalam rangka persiapan migrasi inilah Departemen Komunikasi dan Informatika pada bulan Januari 2005 membentuk Tim Nasional Migrasi Sistem Penyiaran dari Analog ke Digital. Tim ini beranggotakan sejumlah pejabat, akademisi, dan para pakar dari berbagai instansi, antara lain Ditjen Postel, Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi, Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, BPPT, Bappenas, TVRI, RRI, ATVSI, PRSSNI, PT LEN, dan PT Elektrindo Nusantara.

Siaran radio

Dalam hal ini yang dipelajari bukan hanya migrasi siaran TV, tetapi juga siaran radio dari analog ke digital. Tugas utama Tim Nasional adalah mempelajari berbagai aspek dalam rangka migrasi, di antaranya mempelajari kesiapan regulasi, kesiapan penyelenggara siaran, kesiapan industri dalam kaitan dengan set-top box dan pesawat TV, kesiapan masyarakat baik dari segi teknis maupun sosial, budaya, dan ekonomi, serta pertimbangan aspek politis berkaitan dengan negara tetangga. Mereka juga ditugaskan merencanakan transisi digital ke analog yang diawali oleh masa simulcast di mana sistem analog dan digital dipancarkan bersamaan.

Migrasi dari sistem TV analog ke sistem TV digital bagi Indonesia memang tidak dapat dihindari. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar dengan kebudayaan beragam, variasi program-program siaran TV merupakan kebutuhan mutlak. Namun, keterbatasan alokasi frekuensi menyebabkan keterbatasan dalam pemberian izin operasi bagi operator-operator TV baru sehingga kompetisi program menjadi rendah dan masyarakat tidak mempunyai pilihan dalam menyaksikan program-program berkualitas.

Di sisi lain banyak negara di dunia sudah memulai migrasi dari siaran TV analog ke sistem digital sehingga jika Indonesia tetap bertahan pada siaran TV analog, akan muncul permasalahan di kemudian hari. Maka, peralihan tersebut mau tak mau harus dilakukan, tetapi dengan perencanaan matang dan hati-hati agar tidak merugikan secara ekonomi, tidak terlampau membebani masyarakat, dan tidak menimbulkan kesenjangan baru bagi masyarakat dalam mengakses siaran-siaran televisi.

Dengan latar belakang ini, cukup wajarlah jika Tim Nasional menolak tawaran teknologi ISDB-T dari Jepang karena berbagai pengkajian dan persiapan menuju implementasi sistem TV digital untuk penerima tetap, yakni untuk pelanggan rumah tangga, memang telah cukup lama mereka lakukan.

Kemudian timbul pemikiran di kalangan Tim Nasional untuk membentuk tim kecil riset dan pengembangan industri elektronika nasional di bidang siaran digital. Tujuan utamanya adalah untuk menghimpun kekuatan nasional dari semua pemangku kepentingan di bidang teknologi informasi, komunikasi, dan multimedia, baik dari industri, akademisi, maupun regulator, untuk melakukan riset bersama dalam mengembangkan konten lokal menuju standar nasional siaran digital.

"Set-top box"

Masalah set-top box (STB) perlu mendapat perhatian besar karena perangkat inilah yang akan menjadi jembatan bagi masyarakat untuk menyeberang dari sistem analog ke digital dengan cepat dan mudah. Dengan sendirinya ketersediaan perangkat ini dengan harga semurah mungkin akan ikut menentukan kesuksesan migrasi. Untuk itu, tim kecil industri STB bermaksud mengupayakan agar industri elektronika nasional dapat mengambil momentum ini dengan memproduksi STB Nasional yang khusus dimanfaatkan bagi pasar dalam negeri agar tidak dibanjiri produk STB impor.

Kriteria STB yang hendak dikembangkan ini di antaranya memiliki harga terjangkau, menghasilkan penerimaan berkualitas tinggi baik untuk fixed maupun di kendaraan sesuai kondisi lingkungan Indonesia, memiliki menu berbahasa Indonesia, memanfaatkan kaidah-kaidah yang dipersyaratkan Standar Nasional Indonesia (SNI), sebanyak mungkin melibatkan SDM nasional baik dari lingkungan akademisi, lembaga ristek, maupun industri lokal, serta memiliki fitur Early Warning System.

Dalam rangka persiapan migrasi, Tim Nasional telah melakukan uji coba siaran yang dimulai akhir Januari 2006. Pelaksanaan uji coba untuk siaran televisi digital berlokasi di TVRI, sedangkan untuk siaran radio digital akan berlokasi di Radio Delta Insani Jakarta dan Radio Suara Sangkakala Surabaya.

Adapun alokasi kanal yang telah disiapkan Ditjen Postel dalam rangka uji coba untuk siaran televisi digital adalah kanal 27 (519.25 MHz) dan kanal 34 (575.25 MHz). Sementara itu, untuk siaran radio digital akan menggunakan frekuensi yang saat ini telah digunakan Radio Delta Insani Jakarta (99.1 MHz) dan Radio Suara Sangkakala Surabaya (106 MHz).

Ir. Bambang Heru Tjahjono, MSc, Staf Senior BPPT dan Anggota Tim Nasional Migrasi Sistem Penyiaran dari Analog ke Digital

Ragam Standar Siaran TV Digital

Telekomunikasi. Kamis, 15 Maret 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/15/telkom/3385500.htm

Gamantyo Hendrantoro

Teknologi penyiaran TV digital telah berkembang selama lebih dari satu dekade. Keunggulan sistem TV digital dibandingkan dengan analog terletak pada kualitas penerimaan yang lebih baik, kebutuhan daya pancar yang lebih kecil, ketahanan terhadap interferensi dan kondisi lintasan radio yang berubah-ubah terhadap waktu (seperti yang terjadi jika penerima TV berada di atas mobil yang berjalan cepat), serta penggunaan bandwidth yang lebih efisien.

Di samping itu, sistem TV digital memungkinkan pengiriman gambar beresolusi tinggi dengan format high-definition television (HDTV).

Dalam paruh dekade terakhir, sejumlah standar TV digital untuk siaran terrestrial mencuat dari sentra-sentra kekuatan teknologi modern. Secara kronologis menurut kemunculannya, standar-standar tersebut adalah Advanced Television Systems Committee (ATSC) dari Amerika Serikat, Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T) dari Eropa, Integrated service Digital Broadcasting Terrestrial (ISDB-T) dari Jepang, Terrestrial Digital Multimedia Broadcasting (T-DMB) dari Korea Selatan, Digital Multimedia Broadcasting Terrestrial (DMB-T) dari China.

Tiga yang disebut terdahulu sudah cukup sering diperbandingkan oleh para peneliti, baik secara teoretis maupun dengan uji coba di lapangan. Dua yang terakhir baru muncul dan merupakan modifikasi dari sistem-sistem terdahulu.

Sistem ATSC mengirimkan sinyal TV digital dengan teknik modulasi amplitudo digital yang dipadu dengan pemfilteran VSB untuk membatasi bandwidth. ATSC dipandang lebih sesuai untuk penerima TV yang tidak bergerak dan sejak semula memang dirancang untuk mampu menghantarkan sinyal HDTV. Namun, DVB-T dan ISDB-T yang berbasis teknik OFDM (orthogonal frequency division multiplexing) yang dikombinasikan dengan interleaving memiliki kelebihan dalam kemampuannya untuk menjangkau pelanggan TV yang bergerak, bahkan yang berada di atas mobil berkecepatan tinggi.

Teknik OFDM membagi aliran informasi TV digital yang berlaju tinggi ke dalam sejumlah sub-aliran dengan laju rendah yang masing-masing akan memodulasi gelombang pembawa yang saling orthogonal. Teknik ini mampu memberikan imunitas terhadap efek lintasan jamak. Sedangkan interleaving—pengubahan urutan simbol-simbol yang ditransmisikan untuk kemudian ditata kembali pada penerima—akan memberikan kekebalan terhadap gangguan kanal yang berupa fading maupun derau impuls.

Dipadu dengan dua lapis teknik pengodean untuk koreksi sinyal, maka sistem DVB-T memiliki ketahanan tinggi terhadap berbagai gangguan akibat kondisi kanal yang buruk dengan adanya derau, lintasan jamak, dan variasi daya terima karena fading. DVB-T juga dapat diimplementasikan dalam mode SFN (single frequency network) di mana suatu operator dapat memasang beberapa pemancar dengan frekuensi yang sama tersebar pada suatu area dengan tujuan untuk memperluas dan memperbaiki kualitas cakupan tanpa perlu menambah frekuensi.

Pada 2004, badan standar Eropa (ETSI) merilis standar baru sebagai pengembangan DVB-T, yaitu DVB-H (H = handheld) yang diperuntukkan bagi pelanggan bergerak dengan pesawat penerima bertenaga baterai seperti PDA atau handphone. Penggunaan tenaga baterai secara hemat untuk penerimaan sinyal TV dalam waktu yang lama dimungkinkan oleh pengiriman sinyal secara tak kontinu. Sinyal TV digital dibagi-bagi ke dalam sejumlah blok yang masing-masing dikirimkan berurutan namun dipisahkan oleh interval waktu kosong sedemikian sehingga terminal penerima dapat menjadi non-aktif selama waktu jeda ini.

Pada sistem ISDB-T digunakan BST-OFDM (Band Segmented Transmission-OFDM) sebagai sistem transmisi. Satu kanal TV selebar 6 MHz dibagi ke dalam 13 segmen yang masing-masing dimodulasi secara OFDM. Sedangkan sistem T-DMB yang dikembangkan di Korea merupakan modifikasi aplikasi sistem radio Digital Audio Broadcasting (DAB) pada band VHF. DAB dipilih karena sudah teruji keandalannya, efisien dalam penggunaan frekuensi, dan memiliki laju bit yang cukup untuk siaran TV Digital. Satu kanal VHF (di Korea selebar 6 MHz) dibagi ke dalam 3 blok, masing-masing bisa digunakan untuk satu program siaran TV mobile DMB.

Untuk siaran terrestrial, standar yang dirilis paling akhir adalah DMB-T yang dikembangkan oleh Tsinghua University China yang merupakan modifikasi dari DVB-T. Seperti halnya DVB-T, DMB-T menerapkan dua lapis pengodean dan dua lapisan interleaving untuk mendapatkan ketahanan terhadap derau, interferensi, dan perubahan kondisi lintasan radio terhadap waktu.

Keunggulan DMB-T disebabkan oleh sistem OFDM yang dilengkapi sinkronisasi pada domain waktu (TDS-OFDM). Sinyal sinkronisasi dikirim secara terpisah dari sinyal TV dengan menggunakan teknologi spread spectrum sehingga memberikan ketahanan lebih tinggi bagi sinyal sinkronisasi terhadap derau dan interferensi sehingga proses deteksi OFDM yang membawa sinyal TV menjadi lebih baik pula.

Uji coba di Jakarta

Sejak awal 2006 Tim Nasional telah melakukan uji coba siaran dengan pemancar televisi digital yang berlokasi di TVRI. Standar TV digital yang diuji meliputi sistem DMB-T, DVB-T, dan DVB-IP. Ditjen Postel telah mengalokasikan kanal 27 (519,25 MHz) dan 34 (575,25 MHz) untuk keperluan uji coba ini. Tim gabungan BPPT dan ITS telah melakukan pengukuran daya sinyal terima di berbagai titik di sekitar pemancar DVB-T yang terpasang pada ketinggian sekitar 100 meter di menara TVRI Senayan.

Secara umum, sistem TV digital memberikan kualitas penerimaan gambar yang lebih baik, bebas dari echo, lebih tahan terhadap pelemahan daya dan gangguan derau (lihat gambar). Analisis dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa dengan konfigurasi sistem transmisi yang digunakan saat itu serta dengan daya pancar efektif 400 watt, diprediksi hanya sekitar 60 persen wilayah yang terliput dengan kondisi quasi-error free (QEF) jika diasumsikan radius 4 kilometer.

Lebih rinci, penerima yang dapat melihat langsung ke pemancar tanpa halangan—biasa disebut line of sight (LOS)—memiliki kualitas cakupan yang sangat baik dengan peluang 95 persen untuk mencapai status QEF. Namun untuk kondisi terhalang, hanya lokasi pada jarak cukup dekat saja yang memiliki peluang serupa, sedangkan lokasi pada jarak menengah dan jauh, antara 2 kilometer sampai 5 kilometer dari pemancar, memiliki kualitas cakupan yang buruk dengan peluang sekitar 10 persen saja untuk mencapai QEF.

Sementara pada gedung bertingkat sampai jarak 5-6 kilometer, sekalipun masih dapat diperoleh kualitas penerimaan yang cukup baik pada lantai yang tinggi, seperti yang telah dicoba pada gedung BPPT. Sebagai catatan, status QEF tidaklah mutlak diperlukan untuk mendapatkan gambar dengan kualitas yang memadai untuk ditonton.

Namun tentunya kondisi terukur di atas masih dapat ditingkatkan dengan berbagai cara, di antaranya dengan mengubah parameter transmisi, seperti jenis modulasi, pengodean, ataupun daya pancar, atau menerapkan SFN. Sebagai contoh, diperkirakan proporsi wilayah cakupan dengan status QEF dapat meningkat sampai 90 persen jika daya pancar efektif dinaikkan sepuluh kali lipat.

Uji coba sederhana menyusur suatu jalur pengukuran sepanjang 100 meter mengindikasikan bahwa pesawat penerima yang bergerak di atas kendaraan dengan laju 40 kilometer per jam di area seputar Jakarta Pusat dapat mengalami pelebaran spektrum karena efek Doppler sampai sebesar 4 Hz. Pelebaran spektrum ini meningkat sampai 10 Hz jika kendaraan melaju dengan kecepatan 100 kilometer per jam, hal yang bisa terjadi pada jalan bebas hambatan.

Hasil pengukuran pada sejumlah titik juga menunjukkan kemungkinan munculnya lintasan jamak atau echo dengan beda waktu lebih dari 50 mikrodetik, yaitu jarak waktu terjauh datangnya sinyal duplikat yang masih bisa tertangani oleh sistem OFDM dengan konfigurasi yang digunakan saat ini. Walaupun masih belum konklusif karena keterbatasan sampel, temuan-temuan di atas menunjukkan perlu dipertimbangkannya kondisi lingkungan dan karakteristik perambatan gelombang radio.

Studi lebih lanjut masih diperlukan sebelum implementasi siaran TV digital di Indonesia benar-benar dilakukan. Kehati-hatian ini adalah syarat mutlak agar implementasi siaran TV digital dapat memuaskan kepentingan semua komponen yang terlibat, termasuk konsumen, operator, penyedia konten, dan pemerintah selaku regulator.

Prof. Dr. Ir. Gamantyo Hendrantoro, Kepala Lab Propagasi dan Radiasi Elektromagnetik, Jurusan Teknik Elektro ITS

Mengapa Harus Ada Migrasi dari Analog ke Digital

Audio Visual. Kamis, 07 Juni 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0706/07/Audio/3574895.htm

Hary Budiarto

Migrasi menuju siaran TV digital bukan berarti harus berpindah menggunakan pesawat TV baru yang bisa menerima siaran secara digital.

Meski sinyal yang dikirimkan dari stasiun pemancar berupa sinyal digital, pesawat TV berpenala (tuner) analog bisa ditambahkan perangkat bernama set-top box untuk dapat menerima sinyal TV digital ini.

Kelebihan sinyal digital dibandingkan dengan analog adalah ketahanannya terhadap derau dan kemudahannya untuk diperbaiki (recovery) di bagian penerima dengan suatu kode koreksi error (error correction code). Keuntungan lainnya adalah konsumsi bandwidth yang lebih efisien dan efek interferensi yang lebih rendah. Pada beberapa standar, hal ini dimungkinkan oleh penggunaan sistem OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) yang tangguh dalam mengatasi efek lintas jamak.

Pada sistem analog, efek lintasan jamak ini akan menimbulkan echo yang berakibat munculnya gambar ganda yang sangat mengganggu kenikmatan menonton. Sinyal digital juga bisa dioperasikan dengan daya yang lebih rendah serta menghasilkan kualitas gambar dan warna yang jauh lebih bagus daripada TV analog.

Keunggulan

Secara rinci keunggulan sistem siaran TV digital dibandingkan dengan sistem siaran TV analog meliputi ketahanan terhadap kondisi lingkungan yang memiliki lintasan jamak serta ketahanan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi karena pergerakan pesawat penerima, misalnya di atas kendaraan yang bergerak, sehingga tidak terjadi gambar bergoyang atau berubah-ubah kualitasnya seperti pada TV analog.

Beberapa sistem TV digital mampu beroperasi dengan menggunakan mode Single Frequency Network (SFN), di mana stasiun TV yang sama dapat memasang sejumlah pemancar dengan frekuensi yang sama dan tersebar pada wilayah layanan yang luas, sehingga dapat meningkatkan cakupan bagi pelanggannya tanpa memerlukan lebih dari satu kanal frekuensi. Hal ini dapat dicapai jika sistem siaran TV digital tersebut mampu menolerir duplikasi sinyal TV yang sampai pada penerima secara tak bersamaan. Pada beberapa sistem, terdapat pula kemampuan mengirim sinyal televisi digital definisi tinggi.

Kualitas penerimaan sinyal pada mobile terminal (misal telepon genggam atau pesawat penerima di atas kendaraan bergerak) pun saat ini bisa terjaga dengan menerapkan space diversity yang memanfaatkan lebih dari satu antena penerima yang dikombinasikan dengan cara tertentu, serta dengan menerapkan sistem adaptasi perubahan kanal yang cepat dan akurat.

Dengan demikian, efek fluktuasi pelemahan sinyal karena lintasan jamak dan efek Doppler dapat dikurangi. Bahkan, varian teknologi siaran TV digital baru seperti DVB-H dan DMB-T memungkinkan penerima bergerak dapat menikmati siaran hanya dengan perangkat penerima sederhana.

Dari segi layanan, sistem TV digital mampu meningkatkan kualitas siaran di samping memberikan lebih banyak pilihan program kepada pemirsa, serta memungkinkan konvergensi dengan media dan aplikasi lainnya, seperti media internet, aplikasi handphone, dan komputer. Di sisi aplikasi, siaran TV digital memberikan fleksibilitas aplikasi interaktif sehingga akan sangat mendukung kebutuhan interaksi antara suatu enteprise dengan penggunanya baik yang bersifat komersial, nonprofit seperti interactive advertisement, tele-news, tele-banking, tele-shopping, maupun nonkomersial seperti tele-education, tele-working, dan tele-traffic.

Mengenai standar yang tersedia, memang cukup banyak. Dalam sistem siaran TV digital terrestrial terdapat dua bagian standardisasi, yaitu bagian I, standar untuk kompresi dan multiplexing, serta bagian II untuk kode koreksi kesalahan dan sistem transmisi. Standar untuk bagian I sebagian besar menggunakan Moving Pictures Experts Group-2 (MPEG-2) untuk kompresi.

Untuk bagian II terdapat sejumlah standar TV digital untuk siaran terrestrial yang berkembang, yaitu Digital Video Broadcasting for Terrestial (DVB-T) dari Eropa, Integrated Service Digital Broadcasting Terrestial (ISDB-T) dari Jepang, Advanced Television Systems Committee (ATSC) dari Amerika Serikat, Terrestial Digital Multimedia Broadcasting (T-DMB) dari Korea, Digital Multimedia Broadcasting Terrestial (DMB-T) dari China.

Masing-masing standar dan beberapa variannya telah diadopsi sejumlah negara. DVB diadopsi seluruh Eropa dan sejumlah negara di Asia dan Australia, sedangkan ATSC oleh Amerika Utara dan sejumlah negara di Amerika Selatan dan Asia.

Standar digital

Masalahnya sekarang adalah kalau migrasi memang sudah menjadi niat, standar TV digital mana yang harus kita pilih? Bagaimana pula mengatur perpindahan secara mulus dari sistem analog ke digital tanpa membebani masyarakat untuk membeli perangkat TV baru ataupun set- top box yang mahal? Mencari jawaban isu-isu ini adalah tugas Tim Nasional Migrasi Siaran Analog ke Digital yang dibentuk Menkominfo sejak 2005. Mungkin dengan melirik apa yang terjadi di negara lain, kita bisa mengambil pelajaran berharga dalam kaitannya dengan migrasi ini.

Implementasi sistem TV digital di Eropa, Amerika, dan Jepang sudah dimulai beberapa tahun lalu. Di Jerman, proyek ini telah dimulai sejak tahun 2003 untuk kota Berlin dan tahun 2005 untuk Muenchen. Sedangkan negara-negara lain baru berencana mulai tahun 2010.

Tahun 2010, Perancis juga akan menerapkan hal sama. Di Inggris, akhir tahun 2005 dilakukan uji coba mematikan beberapa siaran analog untuk menguji bahwa penghentian total sistem analog memang bisa dilakukan pada tahun 2012. Bahkan, di Amerika, Kongres telah memberikan mandat untuk menghentikan siaran TV analog secara total (switched off) pada 2009, begitu pula Jepang pada 2011.

Negara-negara di kawasan Asia juga akan mengikuti migrasi total dari sistem analog ke digital. Di Singapura, TV digital telah diluncurkan sejak Agustus 2004 dan saat ini telah dinikmati lebih kurang 250.000 rumah. Di Malaysia, siaran TV digital juga sudah dirintis sejak 1998 dan saat ini diharapkan bisa dinikmati 1,8 juta rumah.

Proses migrasi sebenarnya juga memiliki beberapa tantangan, di antaranya adalah penyediaan pesawat penerima siaran TV digital dengan harga terjangkau bagi masyarakat, atau penyediaan set-top box yang semurah mungkin. Implementasi siaran TV digital di AS sebenarnya tidaklah mulus begitu saja. Tantangan terutama datang dari para produsen TV, meski mereka tetap konsisten untuk melaksanakannya.

Menurut National Association of Broadcasters (NAB), di AS saat ini terdapat sekitar 1.500 dari 1.700 stasiun lokal yang memancarkan sinyal digital HDTV (televisi berdefinisi tinggi). Namun, hanya 5 persen rumah tangga yang memiliki TV yang bisa menerima konten digital dan sedikitnya 73 juta pesawat belum bisa menangkap sinyal digital. Karena itu, diperlukan regulasi untuk memberikan subsidi bagi konsumen yang akan membeli konverter digital ke analog atau TV baru, agar seluruh pemancar di AS akan mengudara dengan hanya sinyal televisi digital pada akhir tahun 2006 atau ketika 85 persen pemirsa sudah bisa menangkap sinyal digital.

Di Indonesia, siaran digital sebenarnya sudah dimulai sejak 1997 dalam format TV digital satelit dengan jumlah pelanggan saat ini melebihi 200.000. Sedangkan kandidat konsumen siaran TV digital terrestrial yang cukup menjanjikan adalah para pengguna telepon seluler dan peranti PDA.

Penggunaan daya kecil (baterai) secara irit juga harus menjadi pertimbangan. Segmen lain yang juga menjanjikan adalah rumah tangga pemilik pesawat TV. Jumlah pemilik TV saat ini sebanyak 40 sampai 50 juta rumah merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri konten atau aplikasi siaran TV di Indonesia. Dalam hal ini, kemampuan mengirimkan gambar yang beresolusi tinggi lebih menjadi prioritas dibandingkan dengan ketahanan terhadap perubahan kondisi karena pergerakan.

Beragam keinginan dan harapan dari berbagai komponen masyarakat perlu diakomodasi dalam proses migrasi ke siaran TV digital. Operator stasiun televisi tentunya menginginkan sistem siaran TV digital yang mampu memberikan kualitas penerimaan sinyal yang tinggi dengan daya pemancar yang serendah-rendahnya. Fitur lain yang dikehendaki operator adalah SFN yang memungkinkan perluasan area cakupan dengan stasiun pemancar yang tersebar namun semua beroperasi pada kanal frekuensi yang sama.

Pemerintah sebagai regulator menginginkan sistem siaran TV digital dengan efisiensi spektrum yang tinggi, mampu mengakomodasi stasiun TV sebanyak-banyaknya dalam spektrum frekuensi yang dialokasikan untuk siaran TV. Di samping itu, siaran TV digital tersebut harus dapat menunjang terjadinya transisi yang mulus dari analog ke digital.

DR. Hary Budiarto, MSi, Kepala Divisi Teknologi Komunikasi dan Komputasi BPPT

Sabtu, 11 Oktober 2008

Selamat Datang, Welcome

Selamat Datang.

Para pembaca yang budiman, Blog ini dipersiapkan bagi anda yang ingin berbagi informasi terkait dengan perkembangan TV Digital di Indonesia.

Seperti kita ketahui, layanan TV Digital telah diluncurkan di Indonesia sejak 13 Agustus 2008 lalu, melalui Soft Launching Siaran TV Digital di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah, melalui Depkominfo yang dimotori oleh Konsorsium TV Digital Nasional beranggotakan TVRI, RRI dan PT. Telkom.

Segala macam informasi terkait dengan perkembangan TV digital di Indonesia dapat diperoleh di dalam Blog Ini. Sumbang saran berupa materi, usulan, kritikan dapat disampaikan melalui e-mail digitaltvindonesia@gmail.com

Berharap Blog ini dapat menjadi referensi yang berharga bagi perkembangan TV Digital di Indonesia.

Salam,
Moderator Blog.
Satriyo Dharmanto