Minggu, 26 Oktober 2008

Ragam Standar Siaran TV Digital

Telekomunikasi. Kamis, 15 Maret 2007
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0703/15/telkom/3385500.htm

Gamantyo Hendrantoro

Teknologi penyiaran TV digital telah berkembang selama lebih dari satu dekade. Keunggulan sistem TV digital dibandingkan dengan analog terletak pada kualitas penerimaan yang lebih baik, kebutuhan daya pancar yang lebih kecil, ketahanan terhadap interferensi dan kondisi lintasan radio yang berubah-ubah terhadap waktu (seperti yang terjadi jika penerima TV berada di atas mobil yang berjalan cepat), serta penggunaan bandwidth yang lebih efisien.

Di samping itu, sistem TV digital memungkinkan pengiriman gambar beresolusi tinggi dengan format high-definition television (HDTV).

Dalam paruh dekade terakhir, sejumlah standar TV digital untuk siaran terrestrial mencuat dari sentra-sentra kekuatan teknologi modern. Secara kronologis menurut kemunculannya, standar-standar tersebut adalah Advanced Television Systems Committee (ATSC) dari Amerika Serikat, Digital Video Broadcasting Terrestrial (DVB-T) dari Eropa, Integrated service Digital Broadcasting Terrestrial (ISDB-T) dari Jepang, Terrestrial Digital Multimedia Broadcasting (T-DMB) dari Korea Selatan, Digital Multimedia Broadcasting Terrestrial (DMB-T) dari China.

Tiga yang disebut terdahulu sudah cukup sering diperbandingkan oleh para peneliti, baik secara teoretis maupun dengan uji coba di lapangan. Dua yang terakhir baru muncul dan merupakan modifikasi dari sistem-sistem terdahulu.

Sistem ATSC mengirimkan sinyal TV digital dengan teknik modulasi amplitudo digital yang dipadu dengan pemfilteran VSB untuk membatasi bandwidth. ATSC dipandang lebih sesuai untuk penerima TV yang tidak bergerak dan sejak semula memang dirancang untuk mampu menghantarkan sinyal HDTV. Namun, DVB-T dan ISDB-T yang berbasis teknik OFDM (orthogonal frequency division multiplexing) yang dikombinasikan dengan interleaving memiliki kelebihan dalam kemampuannya untuk menjangkau pelanggan TV yang bergerak, bahkan yang berada di atas mobil berkecepatan tinggi.

Teknik OFDM membagi aliran informasi TV digital yang berlaju tinggi ke dalam sejumlah sub-aliran dengan laju rendah yang masing-masing akan memodulasi gelombang pembawa yang saling orthogonal. Teknik ini mampu memberikan imunitas terhadap efek lintasan jamak. Sedangkan interleaving—pengubahan urutan simbol-simbol yang ditransmisikan untuk kemudian ditata kembali pada penerima—akan memberikan kekebalan terhadap gangguan kanal yang berupa fading maupun derau impuls.

Dipadu dengan dua lapis teknik pengodean untuk koreksi sinyal, maka sistem DVB-T memiliki ketahanan tinggi terhadap berbagai gangguan akibat kondisi kanal yang buruk dengan adanya derau, lintasan jamak, dan variasi daya terima karena fading. DVB-T juga dapat diimplementasikan dalam mode SFN (single frequency network) di mana suatu operator dapat memasang beberapa pemancar dengan frekuensi yang sama tersebar pada suatu area dengan tujuan untuk memperluas dan memperbaiki kualitas cakupan tanpa perlu menambah frekuensi.

Pada 2004, badan standar Eropa (ETSI) merilis standar baru sebagai pengembangan DVB-T, yaitu DVB-H (H = handheld) yang diperuntukkan bagi pelanggan bergerak dengan pesawat penerima bertenaga baterai seperti PDA atau handphone. Penggunaan tenaga baterai secara hemat untuk penerimaan sinyal TV dalam waktu yang lama dimungkinkan oleh pengiriman sinyal secara tak kontinu. Sinyal TV digital dibagi-bagi ke dalam sejumlah blok yang masing-masing dikirimkan berurutan namun dipisahkan oleh interval waktu kosong sedemikian sehingga terminal penerima dapat menjadi non-aktif selama waktu jeda ini.

Pada sistem ISDB-T digunakan BST-OFDM (Band Segmented Transmission-OFDM) sebagai sistem transmisi. Satu kanal TV selebar 6 MHz dibagi ke dalam 13 segmen yang masing-masing dimodulasi secara OFDM. Sedangkan sistem T-DMB yang dikembangkan di Korea merupakan modifikasi aplikasi sistem radio Digital Audio Broadcasting (DAB) pada band VHF. DAB dipilih karena sudah teruji keandalannya, efisien dalam penggunaan frekuensi, dan memiliki laju bit yang cukup untuk siaran TV Digital. Satu kanal VHF (di Korea selebar 6 MHz) dibagi ke dalam 3 blok, masing-masing bisa digunakan untuk satu program siaran TV mobile DMB.

Untuk siaran terrestrial, standar yang dirilis paling akhir adalah DMB-T yang dikembangkan oleh Tsinghua University China yang merupakan modifikasi dari DVB-T. Seperti halnya DVB-T, DMB-T menerapkan dua lapis pengodean dan dua lapisan interleaving untuk mendapatkan ketahanan terhadap derau, interferensi, dan perubahan kondisi lintasan radio terhadap waktu.

Keunggulan DMB-T disebabkan oleh sistem OFDM yang dilengkapi sinkronisasi pada domain waktu (TDS-OFDM). Sinyal sinkronisasi dikirim secara terpisah dari sinyal TV dengan menggunakan teknologi spread spectrum sehingga memberikan ketahanan lebih tinggi bagi sinyal sinkronisasi terhadap derau dan interferensi sehingga proses deteksi OFDM yang membawa sinyal TV menjadi lebih baik pula.

Uji coba di Jakarta

Sejak awal 2006 Tim Nasional telah melakukan uji coba siaran dengan pemancar televisi digital yang berlokasi di TVRI. Standar TV digital yang diuji meliputi sistem DMB-T, DVB-T, dan DVB-IP. Ditjen Postel telah mengalokasikan kanal 27 (519,25 MHz) dan 34 (575,25 MHz) untuk keperluan uji coba ini. Tim gabungan BPPT dan ITS telah melakukan pengukuran daya sinyal terima di berbagai titik di sekitar pemancar DVB-T yang terpasang pada ketinggian sekitar 100 meter di menara TVRI Senayan.

Secara umum, sistem TV digital memberikan kualitas penerimaan gambar yang lebih baik, bebas dari echo, lebih tahan terhadap pelemahan daya dan gangguan derau (lihat gambar). Analisis dari hasil pengukuran menunjukkan bahwa dengan konfigurasi sistem transmisi yang digunakan saat itu serta dengan daya pancar efektif 400 watt, diprediksi hanya sekitar 60 persen wilayah yang terliput dengan kondisi quasi-error free (QEF) jika diasumsikan radius 4 kilometer.

Lebih rinci, penerima yang dapat melihat langsung ke pemancar tanpa halangan—biasa disebut line of sight (LOS)—memiliki kualitas cakupan yang sangat baik dengan peluang 95 persen untuk mencapai status QEF. Namun untuk kondisi terhalang, hanya lokasi pada jarak cukup dekat saja yang memiliki peluang serupa, sedangkan lokasi pada jarak menengah dan jauh, antara 2 kilometer sampai 5 kilometer dari pemancar, memiliki kualitas cakupan yang buruk dengan peluang sekitar 10 persen saja untuk mencapai QEF.

Sementara pada gedung bertingkat sampai jarak 5-6 kilometer, sekalipun masih dapat diperoleh kualitas penerimaan yang cukup baik pada lantai yang tinggi, seperti yang telah dicoba pada gedung BPPT. Sebagai catatan, status QEF tidaklah mutlak diperlukan untuk mendapatkan gambar dengan kualitas yang memadai untuk ditonton.

Namun tentunya kondisi terukur di atas masih dapat ditingkatkan dengan berbagai cara, di antaranya dengan mengubah parameter transmisi, seperti jenis modulasi, pengodean, ataupun daya pancar, atau menerapkan SFN. Sebagai contoh, diperkirakan proporsi wilayah cakupan dengan status QEF dapat meningkat sampai 90 persen jika daya pancar efektif dinaikkan sepuluh kali lipat.

Uji coba sederhana menyusur suatu jalur pengukuran sepanjang 100 meter mengindikasikan bahwa pesawat penerima yang bergerak di atas kendaraan dengan laju 40 kilometer per jam di area seputar Jakarta Pusat dapat mengalami pelebaran spektrum karena efek Doppler sampai sebesar 4 Hz. Pelebaran spektrum ini meningkat sampai 10 Hz jika kendaraan melaju dengan kecepatan 100 kilometer per jam, hal yang bisa terjadi pada jalan bebas hambatan.

Hasil pengukuran pada sejumlah titik juga menunjukkan kemungkinan munculnya lintasan jamak atau echo dengan beda waktu lebih dari 50 mikrodetik, yaitu jarak waktu terjauh datangnya sinyal duplikat yang masih bisa tertangani oleh sistem OFDM dengan konfigurasi yang digunakan saat ini. Walaupun masih belum konklusif karena keterbatasan sampel, temuan-temuan di atas menunjukkan perlu dipertimbangkannya kondisi lingkungan dan karakteristik perambatan gelombang radio.

Studi lebih lanjut masih diperlukan sebelum implementasi siaran TV digital di Indonesia benar-benar dilakukan. Kehati-hatian ini adalah syarat mutlak agar implementasi siaran TV digital dapat memuaskan kepentingan semua komponen yang terlibat, termasuk konsumen, operator, penyedia konten, dan pemerintah selaku regulator.

Prof. Dr. Ir. Gamantyo Hendrantoro, Kepala Lab Propagasi dan Radiasi Elektromagnetik, Jurusan Teknik Elektro ITS

1 komentar:

Mugie mengatakan...

Selamat malam, ijin bertanya:
1. Tuner TV dgn sistem ATSC apakah bisa menerima siaran TV Digital di Indonesia.
2. Kenapa negara Inonesia tidak memilih sistem ATSC, padahal sistem ATSC memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sistem yg lain.