Senin, 18 Mei 2009

Meraup Digital Devidend Siaran TV Digital

Bernardus Satriyo Dharmanto

Gaung siaran TV digital yang sudah terdengar sejak beberapa waktu lalu, semakin nyaring sejak pemerintah secara resmi melakukan soft launching siaran TV digital di studio TVRI pada tanggal 13 Agustus 2008 lalu dan akan disusul dengan Grand Launching yang akan dilakukan tanggal 20 Mei 2009 di Jakarta. Hal ini telah memicu para pelaku industri penyiaran untuk berbenah menghadapi perubahan-peruhan yang terjadi. Paling tidak ada beberapa perubahan yang harus dihadapi, antara lain perubahan regulasi, alokasi frekuensi, perubahan teknologi dan model bisnis yang digunakan. Semuanya memberikan konsekuensi beragam bagi para stakeholder industri TV ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sekilas tampak pemerintahlah yang paling banyak memperoleh digital devidend dari migrasi ini, yaitu semakin banyaknya alokasi frekuensi yang dapat “dijual” kepada para pelaku bisnis penyiaran TV, yang semakin banyak mendatangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa BHP (Biaya Hak Penggunaan) frequency. Bahkan dengan teknologi digital ini, PNBP dapat diperoleh bukan hanya dari penyelenggara network provider, melainkan juga bisa dari penyedia content provider.

Sementara para pelaku bisnis dari kalangan swasta seolah harus puas menghadapi digital consequent nya, harus terus melakukan investasi perangkat dan human resource baru, tanpa bisa berbuat banyak demi menjaga kesempatan untuk tetap berbisnis di bidang ini. Namun bila lebih jauh dipelajari, sebenarnya proses migrasi ini dapat memberikan deviden bagi seluruh stakeholder. Hal ini sangat tergantung dari kesiapan masing-masing pihak dalam menyikapinya dan ikut terlibat didalamnya.

Selain pemerintah, beberapa pihak telah melakukan persiapan menghadapi migrasi ini. Para pelaku industri penyiaran, dalam hal ini industri radio dan televisilah yang paling banyak terlihat melakukannya. Industri penyiaran TV telah melakukan ujicoba siaran digital melalui pembentukan konsorsium TV digital yang khusus disiapkan untuk menyesuaikan diri dengan model bisnis TV digital. Ini juga mengawali satu era dimana Diversity of Ownership telah dapat di recovery dan mulai diposisikan kembali secara proposional, untuk mencapai model bisnis siaran TV yang lebih optimal.

Perubahan Regulasi
Di bidang regulasi, secara resmi pemerintah Indonesia telah memutuskan teknologi DVB-T (Digital Video Broadcasting – Terrestrial) sebagai standar TV Digital penerimaan tetap di Indonesia. Teknologi ini dipilih karena terbukti memberikan banyak kelebihan dibanding teknologi lainnya. Kelebihan yang paling nyata adalah kemampuannya untuk melakukan effisiensi dalam pemakaian frequency. Karena teknologi ini mampu memultipleks beberapa program sekaligus, di mana paling tidak enam program siaran dapat "dimasukkan" sekaligus ke dalam satu kanal TV berlebar pita 8 MHz, dengan kualitas cukup baik. Ibarat satu lahan, yang tadinya hanya dapat dipergunakan untuk membangun satu gedung, dengan teknologi ini mampu dibangun enam gedung sekaligus tanpa perlu menambah lahan yang ada, dengan kualitas bangunan lebih baik dan daya tampung jauh lebih banyak.

Korelasinya, akan memberikan peluang lebih banyak untuk menempatkan siaran TV di kanal UHF (Ultra High Frequency) yang saat ini sudah penuh sesak dipergunakan, dan bahkan hampir tidak tersisa sama sekali. Dengan teknologi DVB-T ini, semakin banyak siaran TV (digital) dapat ditampung, yang dapat menurunkan kebutuhan alokasi frequency jauh dibawah yang diperlukan saat ini. Dalam hal ini akan terjadi efisiensi penggunaan frequency sehingga pemerintah memiliki kesempatan untuk melakukan re-alokasi dan penataan ulang frequency di kanal UHF, yang berkorelasi positif pada peluang untuk dapat dipergunakannya sebagian kanal frequency yang tersisa untuk aplikasi lainnya.

Perubahan Teknologi
Di sisi teknologi jelas terdapat perubahan yang signifikan, yaitu ketahanan sinyal terhadap efek interferensi, derau dan fading dan kemudahannya untuk dilakukan proses identifikasi dan perbaikan (correction) terhadap sinyal yang rusak akibat proses pengiriman / transmisi. Sehingga di era TV digital ini, masyarakat akan memperoleh digital deviden berupa gambar dan suara yang lebih stabil, halus dan resolusi lebih tajam. Tidak akan ditemui lagi gambar yang bergoyang, berbintik, gambar ganda, warna hilang, suara noise di speaker, dll yang membuat tidak nyaman pemirsa dalam menikmati siaran TV. Disamping itu akan diperoleh efisiensi di banyak hal antara lain efisiensi dalam Network Transmission, efisiensi Transmission Power dan Consumption Power. Efisiensi consumtion power inilah yang secara tidak langsung akan berdampak luas bagi efisiensi konsumsi listrik nasional.

TV Digital memerlukan perubahan & penambahan beberapa perangkat di sisi transmisinya, yang akan disediakan oleh operator TV digital. Perangkat Encoder berfungsi untuk mengolah sinyal Audio dan Video analog menjadi signal Transport Stream berformat ASI (Asynchronous Serial Interface). Biasanya diperlukan beberapa encoder sekaligus agar sinyal yang ditransmisikan memiliki kapasaitas multi program siaran. Signal ASI keluaran beberapa encoder tersebut kemudian dimultiplex menggunakan perangkat Multiplexer untuk diperoleh signal multi program Transport stream. Signal ini kemudian didistribusikan dan dimodulasi untuk kemudian dipancarkan secara terrestrial menggunakan DVB-T Transmitter kepada pelanggan.

Disamping itu mutlak diperlukan perangkat DVB-T Monitoring system, untuk menjaga QoS (Quality of Service) siaran TV Digital. Karena signal TV digital adalah bersifat non linear, dimana disamping kita harus menjaga signal strength pada level tertentu, juga diperlukan monitoring signal quality agar siaran tetap dapat diterima oleh pelanggan dengan kualitas prima. Sehingga perangkat QoS ini menjadi mandatori atau mutlak diperlukan dalam jaringan TV Digital. Beberapa merek perangkat QoS monitoring yang terkenal antara lain Pixelmetrix, R&S dan Textronix.

Di sisi penerima, agar masyarakat dapat menerima siaran TV digital, diperlukan perangkat STB (set top box) yang berfungsi merubah sinyal TV digital agar bisa diterima perangkat TV existing yang saat ini dimiliki masyarakat. Secara teknis perangkat STB ini sudah mampu diproduksi di dalam negeri. STB adalah perangkat yang mutlak diperlukan untuk menangkap siaran TV digital. Perangkat ini berfungsi untuk menerima dan mengolah signal digital yang dipancarkan oleh operator TV digital, kemudian mengkonversinya menjadi sinyal Audio & Video untuk dapat diterima oleh pesawat penerima TV analog yang ada saat ini. Tanpa STB, masyarakat tidak akan dapat menangkap lagi siaran TV yang nantinya akan dirubah ke digital dalam proses migrasi ini.

Ujicoba Siaran TV Digital
Sejak bulan Agustus 2008 telah dilakukan ujicoba siaran DVB-T. Ujicoba ini atas kerjasama beberapa perusahaan seperti TVRI, PT. Telkom, RRI, BPPT, PT. LEN, Pixelmetrix, dan beberapa perusahaan lainnya, setelah dilakukan softlaunching oleh bapak Wakil presiden pada 13 Agustus 2008 lalu. Dalam hal ini siaran TV digital dipancarkan dari lokasi TVRI-Senayan, yang dapat diterima menggunakan pesawat penerima yang dilengkapi dengan STB dalam radius 5-10 km dari Senayan.

Uji coba Siaran TV Digital lainnya juga sudah dimulai sejak bulan Januari 2009 lalu, baik untuk siaran free-to-air berbasis standard DVB-T maupun untuk siaran mobile-TV yang berbasis open standard. Ujicoba ini dilaksanakan oleh konsorsium penyelenggara infrastruktur jaringan penyiaran TV digital. Melalui Peraturan menteri (permen) nomor: 27/P/M.KOMINFO/8/2008, pemerintah telah menetapkan 4 (empat) konsorsium Lembaga penyiaran sebagai penyelenggara ujicoba siaran TV digital, yaitu 2 penyelenggara siaran free-to-air DVB-T dan 2 lainnya penyelenggara untuk siaran mobile TV (DVB-H).

Penyelenggara siaran free-to-air DVB-T terdiri dari konsorsium TVRI dengan PT. Telkom dan Konsorsium TV Digital Indonesia (KTDI), yang beranggotakan 6 (enam) TV Swasta Nasional yaitu SCTV, Antv, TVOne, Trans TV, Trans 7 dan Metro TV. Disamping itu ada 2 penyelenggara siaran mobile TV (DVB-H), yaitu Konsorsium PT. Tren Mobile / MNC yang beranggotakan RCTI, TPI dan Global TV dan Konsorsium antara PT. Telkom, PT.Telkomsel dan PT Indonusa Telemedia (Telkomvision). Siaran inilah yang akan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia secara resmi tanggal 20 Mei 2009 di Jakarta.

Lingkup Ujicoba siaran TV Digital meliputi antara lain model penyelenggaraan, Karakteristik propagasi dan jangkauan layanan siaran, Kualitas gambar dan suara, Kemampuan penerimaan dalam bentuk pelayanan fixed, portable, atau mobile, Kemampuan untuk dioperasikan dengan sistem jaringan Single Frequency Network (SFN), Program siaran (konten) termasuk layanan data, dan kesiapan serta minat masyarakat terhadap siaran televisi digital.

Alokasi frequency radio untuk Uji Coba Siaran Televisi Digital penerimaan tetap free-to-air, disediakan sebanyak 4 (empat) kanal frequency radio, yaitu kanal 40, 42, 44 dan 46 UHF. Sedangkan Alokasi frequency radio untuk Uji Coba Siaran Televisi Digital mobile TV menggunakan 2 (dua) kanal frequency radio yaitu kanal 24 dan 26 UHF dengan standar yang berbeda.

Dalam rangka monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Uji Coba Siaran Televisi Digital, Menteri membentuk tim yang terdiri dari Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Perindustrian, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan unsur lain yang dipandang perlu untuk melakukan penilaian atas pelaksanaan Uji Coba Siaran Televisi Digital dan nantinya bertugas memberikan laporan kepada Menteri.

Uji Coba Siaran Televisi Digital bertujuan untuk mengkaji setiap aspek teknis dan non-teknis berupa performansi perangkat dan sistem, model penyelenggaraan siaran televisi digital, dan fitur layanan televisi digital yang diharapkan masyarakat.

Untuk Uji Coba Siaran Televisi Digital penerimaan tetap free-to-air, penyelenggara wajib menyediakan alat bantu penerima siaran televisi digital (set top box) MPEG-2 yang memenuhi ketentuan teknis dengan fitur yang mampu memberikan layanan data dengan menu Bahasa Indonesia, informasi ramalan cuaca, keadaan lalu lintas, keuangan, peringatan dini bencana alam, berita, dan dapat dilengkapi dengan sarana pengukuran rating TV. STB yang digunakan harus dapat menerima siaran televisi digital dari semua penyelenggara Uji Coba Siaran Televisi Digital free-to-air.

Dalam menyelenggarakan Uji Coba Siaran Televisi Digital, penyelenggara Uji Coba Siaran Televisi Digital harus memenuhi ketentuan antara lain menggunakan frekuensi radio sesuai dengan peruntukannya, menayangkan iklan dan running text (tulisan bergerak) yang bersifat promosi siaran digital kepada masyarakat, isi siaran dalam penyelenggaraan Uji Coba Siaran Televisi Digital bersifat edukatif, hiburan, dan berita. Durasi Uji Coba Siaran Televisi Digital berlangsung sekurang-kurangnya 12 (dua belas) jam per hari.

Digital Devidend
Migrasi TV digital ini merupakan tuntutan global, terkait dengan hubungan perdagangan dan industri serta penanaman modal dengan negara lain, karena hampir semua negara di dunia sudah dan atau sedang mempersiapkannya. Juga bertujuan untuk melaksanakan rekomendasi “Mask” Concept RRC06, the Regional Radio Conference 2006 di Geneva, dimana Indonesia telah meratifikasinya. Hal ini untuk melakukan strukturisasi pembangunan Terrestrial broadcasting menuju all-digital future dan exploitasi maximum keuntungan digital transmission pada T-DAB dan DVB-T di Band III dan DVB-T di Band IV dan V, dalam masa transisi dari tahun 2006 ke tahun 2015.

Sebagian besar negara Eropa telah melakukan migrasi total ke siaran TV Digital. Belanda bahkan telah memutuskan untuk melakukan switch off siaran TV analognya (Analog Switch Off / ASO) sejak 11 Desember 2006 lalu. Begitu pula Belgia pada 3 November 2008. Jerman telah melakukan hal sama pada 2 Desember 2008 lalu. Di Inggris, akhir tahun 2005 dilakukan uji coba mematikan beberapa siaran analog untuk menguji bahwa penghentian total sistem analog memang bisa dilakukan pada tahun 2012. Bahkan di Amerika, kongres AS telah menentukan tanggal untuk menghentikan siaran TV analog secara total (switched off) pada 12 Juni 2009, setelah beberapa kali mengalami penundaan. Begitu pula Jepang pada bulan Juli tahun 2011 dan Australia merencanakan melakukan ASO secara bertahap dimulai pada Januari 2010 dan ASO secara total pada bulan Desember tahun 2013.

Negara-negara di kawasan Asia juga akan mengikuti migrasi total dari sistem analog ke digital. Di Singapura, TV digital telah diluncurkan sejak Februari 2001, dimulai dengan peluncuran siaran mobile TV. Bahkan sejak tahun 2006 telah dilakukan ujicoba siaran HDTV (High Definition TV). Di Malaysia, ujicoba siaran TV digital juga sudah dirintis sejak 1998 dengan dukungan dana sangat besar dari pemerintah dan saat ini siaran TV Digital bisa dinikmati lebih dari 2 juta rumah, direncanakan pemerintah Malaysia akan mematikan siaran analognya (Analog Cut Off) pada tahun 2015. Philipina juga telah memulai siaran TV Digital mobile sejak tahun 2007.

Banyak pihak sudah menunggu implementasi TV digital ini dan diharapkan masyarakat dapat menikmati digital deviden dari proses migrasi ini. Diyakini migrasi ini merupakan momentum sekaligus merupakan salah satu milestone penting kebangkitan teknologi nasional di bidang penyiaran. Milestone yang dimulai sejak peluncuran siaran TVRI pertama kali oleh presiden Soekarno pada 17 Agustus 1962, dilanjutkan program SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) Palapa oleh Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1976 dan diharapkan peluncuran TV digital ini menjadi momentum nasional yang diluncurkan oleh Presiden SBY.

Ada 3 phase yang ditentukan pemerintah dalam implementasi TV digital ini. Phase I (tahun 2008-2012) ditandai dengan pelaksanaan field trial yang dilaksanakan selama kmaksimum 1 (satu) tahun. Dalam periode ini tidak akan ada penerbitan ijin baru untuk analog TV setelah beroperasinya digital TV network provider. Pada phase ini juga mulai diberikan ijin baru bagi digital TV network provider dan pengenalan standar DVB-T dan DAB (Digital Audio Broadcasting) untuk penyiaran radio. Phase ini juga ditandai dengan simulcast periode dimana siaran TV analog dan digital disiarkan secara bersamaan. Phase ini juga dilakukan proses mendorong industri nasional untuk memproduksi STB .

Phase II (tahun 2013-2017) akan ditandai dengan proses analog switch off di beberapa kota besar dan pemberian ijin baru kepada penyelenggara siaran digital secara lebih intensif.

Phase III (tahun 2018) akan ditandai dengan totally analog switch off, fully digital, digital TV broadcasting beroperasi di band IV dan V UHF serta channel 49 UHF dan seterusnya akan digunakan untuk penyelenggaraan International Mobile Telecommunication dan Public Protection Disaster Relief.

Adanya perubahan model bisnis di era TV Digital ini memungkinkan dilakukannya efisiensi penggunaan infrastruktur misalnya penggunaan tower bersama, yang dapat meningkatkan kenyamanan dan keamanan masyarakat dengan dihilangkannya “hutan tower” yang saat ini terjadi. Dalam penyiaran digital akan dipisahkan antara penyelenggara atau penyedia konten (content provider) dan penyelenggara jaringan (network provider), yang dapat membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut menikmati kue bisnis penyedia konten TV dan program-program tambahan lainnya seperti citizen journalism video report, traffic report, disaster report dll. Kita tunggu kesempatan ini agar masyarakat jangan hanya terposisikan sebagai pihak yang dirugikan, karena ketidakberdayaan, ketidakmampuan dan ketidaktersediaan pilihan lainnya, namun agar masyarakat dapat meraup digital devidend yang nyata dari migrasi ini.

Bernardus Satriyo Dharmanto, pemerhati penyiaran dan konvergensi multimedia

Tidak ada komentar: